Aksara Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Raperda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya sedang dibahas oleh Pansus DPRD Kota Surabaya. Sayangnya Raperda, yang diinisiasi Dewan ini, bunyinya berbeda dari aslinya ketika awal diinisiasi.
Awalnya berbunyi “Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya”, namun ketika dilimpahkan untuk dibahas oleh Pansus DPRD Kota Surabaya, ternyata judul dan bunyinya berubah menjadi “Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai Kepahlawanan Kota Surabaya”. Ada kata KEJUANGAN yang hilang.
Karenanya, pada kesempatan diminta untuk memberi masukan masukan pada pembahasan Raperda di rapat Pansus DPRD Kota Surabaya, atas nama masyarakat dalam wadah komunitas aksara Jawa Puri Aksara Rajapatni, saya menyampaikan poin poin krusial. Yaitu memohon dimasukkannya lagi Object KEJUANGAN dan memasukkan Object AKSARA dalam Kebudayaan.
Mengapa ?
Kebudayaan
Dalam Pasal 6 Bab III Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai Kepahlawanan Kota Surabaya, tentang Objek Pemajuan Kebudayaan dan Nilai Kepahlawanan, dimana seharusnya dimuat Object AKSARA.
Maklum UU 5/2017 memang tidak mencantumkan Object Aksara dalam 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). Akibatnya Raperda yang bakal jadi Perda sebagai turunan Undang Undang juga tidak memasukkan Aksara. Yang masuk dalam 10 OPK adalah Bahasa.
Padahal Bahasa dan Aksara adalah dua Object Kebudayaan yang berbeda. Dalam kenyataan, Aksara seperti halnya Bahasa, adalah sama sama identitas bangsa. Aksara adalah wujud tulis dalam sistem komunikasi. Sementara Bahasa adalah wujud lisan (tutur).
Antara kedua Object budaya tak benda (intangible) ini, Bahasa terhitung masih lebih hidup daripada Aksara. Bahasa masih memiliki penutur bahasa. Sementara Aksara sudah kehilangan penggunanya. Aksara tidaklah mati, tapi matisuri. Hidup segan mati tak mau. Itulah aksara (Jawa).

Karenanya Kota Surabaya sejak September 2023 gencar melakukan upaya penyelamatan, perlindungan dan bahkan pelestarian. Hasilnya di seluruh kantor kelurahan, kecamatan, OPD, Balai Kota, DPRD Kota Surabaya, Rumah Sakit Daerah dan Taman Kota sudah menggunakan aksara Jawa sebagai signage. Upaya penyelamatan, perlindungan dan pelestarian aksara Jawa terus berproses.

Penulisan dan penggunaan aksara Jawa di Surabaya ini bukan tidak memiliki alasan. Keberadaan aksara Jawa di Surabaya kenyataannya sudah ratusan tahun. Bukti bukti pemakaian aksara Jawa di Surabaya ini sebagaimana dapat diketahui di beberapa tempat seperti a) di salah satu Gapura Ampel yang berupa Inskripsi, b) Masjid Kemayoran, tentang pendirian masjid, yang berupa prasasti, c) Makam para bupati Surabaya di Sentono Agung Botoputih Pegirian Surabaya dan d) Koin terbitan masa Hindia Belanda yang tertulis ‘Surapringga” (nama lain Surabaya).
Berdasarkan bukti bukti faktual itu, maka ketika Surabaya menggunakan kembali Aksara Jawa bukan berarti Surabaya meniru niru daerah lain, seperti Yogyakarta atau Jawa Tengah.
Jika waktu mundur lagi ke belakang hingga abad 14, maka sesungguhnya kita bisa dapatkan nama Surabaya tertulis dalam aksara Jawa Kuna (Kawi) tepatnya pada Prasasti Canggu (1358), yang diterbitkan oleh Raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk ketika sang Raja anjangsana di wilayahnya dengan menyusuri sungai Brantas, Kali Surabaya (Kalimas) hingga ke posisi paling hilir. Di sanalah desa Syurabhaya (Surabaya) berada.
Karenanya Aksara sebagai bagian dari budaya tulis nenek moyang, termasuk moyang Surabaya (Sunan Ampel), harus dijaga, dilindungi dan dilestarikan. Salah satunya melalui produk hukum yang berupa Perda.
Karenanya, Aksara Jawa perlu diwadahi dalam Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). Jika UU5/2017 tidak memasukkan dan menyebut Aksara sebagai OPK, maka Perda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya bisa berinisiasi memasukkan dan menambahkan Aksara (Jawa) sebagai OPK. Toh, Raperda ini adalah sebuah Raperda inisiatif Dewan.
Tidak cuma inisiasi Aksara, Inisiatif ini juga sekaligus mencantolkan Nilai Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya pada Pemajuan Kebudayaan. (PAR/nng)
Bersambung …