Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Teknologi terus berubah seiring dengan berjalannya waktu. Teknologi, yang turut memudahkan kehidupan manusia, juga turut merubah aktivitas seseorang. Misalnya aktivitas menulis. Ketika seseorang menggunakan alat tulis potlot atau pen disebut menulis. Ketika menggunakan mesin ketik, namanya mengetik.
Ketika muncul alat digital seperti komputer dan HP, maka istilahnya berubah menjadi texting. Entah ada istilah apa lagi, jika proses menulis itu berupa suara, yang dialihkan menjadi text. Cara ini memang sudah ada saat ini. Suara (bicara) berubah menjadi text.
Bukan tidak mungkin bahwa cepat atau lambat nantinya, yang hanya dengan membatin saja, bisa menghasilkan tulisan dalam apapun bentuk aksaranya.
Sekarang alat tulis umumnya menggunakan aksara Roman (latin) seperti A sampai Z. Mungkin, terkecuali negara yang masih menggunakan aksara aslinya (daerahnya), seperti Arab dan India.
Dulu di Jawa, pernah ada alat tulis yang beraksara Jawa. Ini terbukti dari buku buku yang dicetak dalam aksara Jawa yang terbit di masa Hindia Belanda.

Dari masa itu, ada satu mesin ketik beraksara Jawa yang menjadi koleksi Museum Penerangan Jakarta. Mesin ketik ini bermerek Royal 8 Barlock buatan Inggris. Dikutip dari detik.com, mesin ketik huruf jawa, yang menjadi koleksi Museum Penerangan itu, berasal dari Surakarta Jawa Tengah.
Mesin ketik huruf Jawa ini mulai dipakai sejak tahun 1917 oleh Keraton Surakarta. Digunakan terutama untuk mengetik surat menyurat, keputusan (kekancingan dalem), ataupun pengumuman resmi Raja Keraton Surakarta untuk masyarakat luas.
Menurut sumber yang sama bahwa pada masa kemerdekaan, mesin ketik bermerek Royal 8 Barlock buatan Inggris ini masih digunakan untuk mengetik pengumuman pengumuman pemerintah dengan huruf Jawa, yang kemudian disebarluaskan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai tahun 1960.
Hasil tulis melalui perangkat manual mesin ketik maupun percetakan dapat dibuktikan dari sejumlah buku buku lama beraksara Jawa dari masa Hindia Belanda. Setelah itu, masa kemerdekaan, tidak ada lagi produk produk buku dan cetak atau semacamnya yang menggunakan aksara Jawa.
Meskipun mengalami penurunan penggunaan, sesungguhnya aksara Jawa tidak pernah hilang sepenuhnya. Dalam beberapa dekade terakhir, bahkan ada upaya yang gigih untuk melestarikan dan menghidupkan kembali aksara Jawa. Yaitu seiring dengan munculnya teknologi digital.
Dengan munculnya teknologi digital, aksara Jawa mulai menemukan jalannya kembali ke dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya pada akhir abad ke-20, beberapa platform komputer dan aplikasi mulai mendukung aksara Jawa sebagai pilihan untuk menulis dan berkomunikasi.
Ini membuka kesempatan bagi para penulis dan seniman untuk menyampaikan pesan mereka dalam bahasa dan tulisan asli mereka. Bahkan bagi orang orang yang masih suka aksara Jawa, mereka terbantu untuk menggunakannya dalam komunikasi tulis.

Bahkan buku buku dan majalah serta produk cetak lainnya dalam aksara Jawa sudah bermunculan lagi. Tidak lagi manual tapi sudah digital. Salah satu buku cerita anak “Titi Tikus Ambeg Welas Asih”, yang ditulis oleh pegiat aksara Jawa Puri Aksara Rajapatni. Balai Bahasa Jawa Timur juga menerbitkan majalah aksara Jawa “Ajisaka”.

Menggunakan aksara Jawa sudah lebih mudah dengan ketersediaan perangkat digital. Sekarang maukah kita memanfaatkan itu untuk menggunakan aksara Jawa? (PAR/nng).