Rajapatni.com: Surabaya (9/10/24) – Berangan-angan adalah sah dan manusiawi. Manusia harus punya angan angan atau mimpi. Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau Jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.
Ungkapan ini masih ꧌ꦫꦺꦊꦮ꦳ꦤ꧀꧍ relevan dengan angan-angan pendiri ꧌ꦥꦹꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍Puri Aksara Rajapatni, Ita Surojoyo. Ita dalam kegiatan Sinau Aksara Jawa pada Sabtu (19/10/24) menyampaikan angan- angannya bahwa dirinya ingin pada suatu masa Bahasa Indonesia ditulis menggunakan Aksara Lokal secara masal dalam berbagai kesempatan dan kepentingan.
Penulisan di Jawa (Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur) menggunakan Aksara Jawa, Bali menggunakan Aksara Bali, dan di Jawa Barat menggunakan Aksara Sunda dan seterusnya. ꧌ꦥꦼꦔ꧀ꦒꦸꦤꦴꦤ꧀꧍ Penggunaan Aksara lokal ini bukan upaya de-indonesianisasi. Tapi merupakan ꧌ꦈꦥꦪ꧍ upaya mengingat kembali Aksara lokal yang sekaligus menjadi identitas kebangsaan. Aksara lokal adalah ꧌ꦮꦂꦤ꧍ warna dan kekayaan literasi Nusantara. Apalagi kita tahu bahwa Aksara Latin yang Kita gunakan untuk menulis bahasa Indonesia adalah Aksara Import, ꧌ꦄꦱꦶꦁ꧍asing.
Upaya ini juga bukan melawan kandungan ꧌ꦱꦸꦩ꧀ꦥꦃꦥꦼꦩꦸꦝ꧍ Sumpah Pemuda, yang bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan Berbahasa Indonesia. Upaya mengenalkan Aksara Nusantara adalah ꧌ꦮꦸꦗꦸꦢ꧀꧍ wujud cinta Tanah air.
Gagasan ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo ini tidak menghilangkan bahasa Indonesia, Bahasa Indonesia tetap eksis, ada dan dipakai secara lisan di tingkat lokal dan nasional. Namun dalam hal tulis, mulai digunakanlah Aksara lokal untuk menulis bahasa ꧌ꦅꦟ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦾ꧍ Indonesia.
Sejarah telah mencatat bahwa Aksara lokal di Jawa pernah dipakai untuk menulis bahasa ꧌ꦱꦤ꧀ꦱꦼꦏꦼꦂꦡ꧍ Sansekerta selain Bahasa Jawa Kuna. Misalnya di masa Kerajaan Medang, Singasari dan ꧌ꦩꦙꦥꦲꦶꦠ꧀꧍ Majapahit, Aksara lokal Jawa Kuna atau Kawi digunakan menulis bahasa Jawa Kuna dan Sansekerta.
Sekarang dan ꧌ꦩꦼꦟ꧀ꦝꦠꦁ꧍ mendatang seperti angan-angan Ita, Aksara Jawa di wilayah Jawa digunakan selain menulis bahasa Jawa juga Indonesia.
Sebetulnya saat ini bukan ꧌ꦧꦼꦫꦂꦡꦶ꧍ berarti belum dilakukan menulis bahasa Indonesia dalam Aksara Jawa. Teknologi pendukung yang berupa alat transliterasi dari Latin ke Aksara Nusantara sudah ꧌ꦠꦼꦂꦰꦼꦝꦶꦪ꧍ tersedia. Misalnya apkikasi Transkara yang bisa membantu mentransliterasi dari Aksara Latin ke Aksara Lokal.
Aksara Latin ini ꧌ꦱꦼꦧꦒꦻꦩꦤ꧍ sebagaimana bahasa Indonesia, yang selanjutnya bisa ditransliterasi ke Aksara Lokal, seperti ꧌ꦏꦮꦶ꧍ Kawi, Jawa, Bali, Pegon, Batak, Sunda dan lainnya.
꧌ꦠꦺꦏ꧀ꦤꦺꦴꦭꦺꦴꦒꦶ꧍ Teknologi membantu memberi kemudahan. Sekarang tinggal seberapa banyak orang yang mau dan bisa ꧌ꦩꦼꦩꦤ꧀ꦥ꦳ꦴꦠ꧀ꦏꦤ꧀꧍ memanfaatkan teknologi itu.
Meski teknologi telah membantu, namun tetap dibutuhkan pemahaman manual agar bisa mengoreksi dan menyunting hasil ꧌ꦠꦿꦤ꧀ꦱ꧀ꦭꦶꦠꦼꦫꦱꦶ꧍ transliterasi bila ada yang kurang sesuai.
“Hasil transliterasi teknologi ‘Salin Saja dan Transkara’ ini sudah akurat kurang lebih 95 persen”, jelas Ita kepada pembelajar Sinau Aksara Jawa.
Apakah sulit menulis dalam Aksara lokal, misalnya Aksara Jawa, ꧌ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀꧍ untuk bahasa Indonesia? Ita tidak sekedar berangan-angan, Ita sedang membuktikan ꧌ꦧꦃꦏꦤ꧀꧍ bahkan ia sedang mempersiapkan buku barunya “Mengenal Surabaya”, buku anak berbahasa Indonesia yang ditulis dengan Aksara Jawa dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang ꧌ꦝꦶꦠꦸꦭꦶꦱ꧀꧍ ditulis dengan Latin.
Hal ꧌ꦱꦼꦫꦸꦥ꧍ serupa kiranya ada dan dilakukan dalam Aksara lokal lainnya, misalnya Aksara Sunda, Batak dan ꧌ꦭꦩ꧀ꦥꦸꦁ꧍ Lampung. Memang tidak semua daerah di Nusantara ini memiliki Aksara lokal. Namun ꧌ꦄꦏꦤ꧀꧍ akan semakin kaya jika ada buku buku atau media baca yang ditulis dalam Aksara lokal (Nusantara) yang Berbahasa Indonesia.
Gagasan ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo ini tidak sekedar mimpi di siang bolong, tapi mimpi yang diikuti oleh upaya dan perjuangan untuk ꧌ꦩꦼꦮꦸꦗꦸꦢ꧀ꦏꦤ꧀꧍ mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Salam budaya. (PAR/nng)
Saya sebagai arek Suroboyo sangat tertarik dan berterima kasih pada mbak mbak dan mas mas yang melestarikan kebudayaan. Khususnya aksara yang ditakutkan akan punah.