Jurnalis de Volkskrant Belanda Menyimak Literasi Lokal di Kota Lama Surabaya.

Rajapatni.com: Surabaya (26/8/24) – Bersama Kepala Biro de Volkskrant untuk Indonesia, Charles Noel Van Bemmel, menikmati ꦏꦺꦴꦠꦭꦩꦯꦸꦫꦨꦪ Kota Lama Surabaya pada Jumat dan Sabtu (23 dan 24 Agustus 2024). De Volkskrant adalah media koran terbesar ketiga di Belanda.

Dalam jelajahnya di ꦏꦺꦴꦠꦭꦩꦯꦸꦫꦨꦪ Kota Lama Surabaya selama dua hari itu, Noel sempat kenal dan dikenalkan dengan budaya setempat, yang berupa tradisi literasi, aksara setempat. Ada beberapa aksara, salah satunya adalah Aksara Jawa.

Sebagai zona Eropa, di kawasan ini tentunya terdapat bahasa Belanda, yang menggunakan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦭꦠꦶꦤ꧀ Aksara Latin (Roman). Selain itu juga sudah ada aksara China, yang sudah digunakan kembali di jalan Kembang Jepun, masuk Kampung Pecinan. Tak ketinggalan Aksara Arab, juga digunakan di kawasan kampung Ampel. Juga ada inskripsi aksara Jawa, yang secara historis aksara Jawanya terkait dengan Sunan Ampel dan ini terdapat pada salah satu gapura Ampel.

Serat Sunan Bonang menggunakan aksara Jawa. Foto: Bayu Nerviadi.

Pada eranya, aksara Jawa juga dipakai dalam ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦱꦸꦤꦤ꧀ꦧꦺꦴꦤꦁ Serat Sunan Bonang, yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Kedua bentuk aksara Jawa ini ditulis pada kisaran abad 15, yang masih di era Majapahit.

Bahasa Belanda Aksara Latin. Foto: Ricky for Rajapatni

Di balik liputan tentang kawasan Kota Lama zona Eropa, Noel atas nama de Volkskrant, juga menyentuh sedikit tentang ꦧꦸꦣꦪ budaya setempat secara historis. Bahwa di jalan Mliwis misalnya, ada dua bangunan yang menggunakan bahasa Belanda yang beraksara Latin. Yaitu di gedung Siropen dimana nama pabrik dan pemiliknya masih menempel di fasade bangunan. Pun demikian di bangunan milik PTPN XI, yang dahulu bernama Nederlandsch Levensverzekering & Lijfrente Maatschappij.

Bahasa Belanda dalam aksara latin pada bangunan kolonial di kota Lama Surabaya. Foto: nanang

Kemudian di perempatan jalan Gelatik dan Mliwis terdapat sebuah peta yang menggambarkan kawasan Kota Lama, dimana pada peta itu menunjukkan pemukiman ꦧꦁꦱꦗꦮ bangsa Jawa dan Madura. Pada masanya di abad 17, tentulah warga lokal ini menggunakan bahasa lokal dan Aksara Lokal. Aksara lokalnya adalah Aksara Jawa.

Peta kota lama Surabaya menjadi petunjuk sejarah. Foto: Ricky for Rajapatni

Terhadap tradisi lokal inilah, Noel terpikat. Kebetulan saya ketika itu menggunakan kaus bertuliskan aksara Jawa, yang berbunyi “ꦮꦤꦶ Wani”. Setelah menerjemahkan arti Wani, yang berarti “Berani”, Noel pun terkesima karena Berani atau Brani memiliki makna yang sama dalam bahasa Belanda.

Kemana mana dalam ꦗꦼꦭꦗꦃ jelajah kota Lama Surabaya, Noel dalam suatu kesempatan bertanya kepada orang yang ditemuinya. Misalnya pada Jumat siang (23/8/24) ketika di sebuah kafe di jalan Veteran, dia bertanya kepada pelayan apakah dia tau arti aksara yang tertulis pada kaos depan saya.

“Tau, apa ini bacanya?”, tanya Noel kepada seorang pelayan.

“Tidak tau”, jawab pelayan sambil tersenyum malu.

Pada hari berikutnya, saya mengenakan kaos berbeda yang masih dengan aksara Jawa. Kaus ini berbunyi “ꦯꦸꦫꦨꦪꦮꦤꦶ Surabaya Wani”. Hari kedua ini makan siang di restoran Majapahit Hotel. Noel juga bertanya kepada seorang pelayan sambil menunjuk pada kaos saya.

Menjadi saksi bahwa aksara Jawa masih asing. Hendra Eka, fotografer de Volkskrant (kiri), Retno Hastijanti, Ketua TACB Surabaya (dua dari kiri), Nanang, penulis (ketiga dari kiri) dan Noel Van Bemmel, Kepala Biro de Volkskrant Indonesia (kanan). Foto: nanang

“Ini artinya apa?”, tanya Noel.

Lagi lagi pelayan itu tidak bisa menjawab sambil tersenyum ꦩꦭꦸ malu.

Lantas Noel membacanya, seolah dia bisa membaca. Padahal sebelumnya telah belajar bahwa tulisan aksara pada kaos saya ini artinya Surabaya Wani.

“Ini Surabaya wani”, jelas Noel.

Berdasarkan ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠ fakta nyata ini, Noel menyimpulkan bahwa masyarakat Surabaya, minimal yang ia temui dan tanya tidak mengerti baca aksara Jawa.

Spanduk warung beraksara Jawa di dekat Radar Surabaya sebagai upaya literasi tradisi. Foto: nanang

Buatnya, aksara Jawa adalah sebuah oleh oleh ꦥꦼꦫꦣꦧꦤ꧀ peradaban. Noel yang sore itu menunggu masuk ke dalam Gedung Singa bersama Ita Surojoyo, pendiri Puri Aksara Rajapatni, meminta Ita apakah Ita bisa menuliskan namanya dalam aksara Jawa.

Nama asing dalam aksara Jawa. Foto: nanang

Maka dituliskanlah nama Noel dalam Aksara Jawa oleh ꦅꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo pada halaman depan sebuah buku hasil pemberianku yang berjudul Benteng Benteng Soerabaia.

Gedung Singa yang kaya akan sejarah dua negara. Foto: nanang

Sekitar pukul 4 sore, Noel, Ita yang didampingi oleh Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, ꦉꦠ꧀ꦤꦺꦴꦲꦱ꧀ꦠꦶꦗꦤ꧀ꦠꦶ Retno Hastijanti, masuk ke gedung singa, yang dibangun tahun 1901. (PAR/nng).

One thought on “Jurnalis de Volkskrant Belanda Menyimak Literasi Lokal di Kota Lama Surabaya.

  1. Alangkah baiknya semua nama jalan yg ada di kota lama Surabaya ditambahkan dibawahnya pakai huruf Jawa. Yg diatas pakai huruf latin dan yg dibawah pakai huruf Jawa. Semoga terlaksana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *