Rajapatni.com: Surabaya (26/8/24) – Bayu Nerviardi, pegiat aksara di ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ Yogyakarta menulis pada laman facebooknya dengan judul “Tata Tulis Aksara Jawa: Kitab Pangeran Bonan (Het Boek Van Bonang)”. Dikatakannya bahwa kitab ini adalah kitab beraksara Jawa tertua yang ditulis di masa kerajaan. Majapahit, yang tidak lain dimasa Sunan Bonang, salah satu dari sembilan Wali yang berada di Tuban. Makam Sunan Bonang ada di kota Tuban.
Tidak hanya di Tuban, ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa digunakan di Surabaya. Penggunaan aksara Jawa ini ditemukan berada pada salah satu gapura dalam bentuk inskripsi.
Penggunaan Aksara Jawa baik di ꦠꦸꦧꦤ꧀ Tuban dan di Surabaya pada masa Wali Songo ini menunjukkan bahwa Aksara Jawa sudah digunakan pada masa kerajaan Majapahit karena kehidupan para Wali ini berada pada akhir masa Majapahit.
Bagaimana Aksara Jawa ini diketahui digunakan pada abad 15. Berikut ꦕꦠꦠꦤ꧀ catatan Bayu Nerviadi pada laman Facebooknya.
Tata Tulis Aksara Jawa: Kitab Pangeran Bonang (Jet Boek Van Bonang): oleh Bayu Nerviadi.
Leiden University adalah universitas di kota Leiden, ꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Belanda, yang didirikan pada tahun 1575 dan merupakan salah satu universitas riset internasional terkemuka di Eropa.
Pada Oktober 1597, seorang ꦥꦸꦱ꧀ꦠꦏꦮꦤ꧀ pustakawan Perpustakaan Universitas Leiden melihat naskah yang dibawa oleh seorang pedagang grosir barang barang kolonial dari Amsterdam. Naskah tersebut berisi goresan aksara yang tidak dia kenal. Meskipun demikian, ia menganggap bahwa dokumen naskah ini sangat penting untuk koleksi perpustakaan di universitasnya. Naskah ini kemudian disumbangkan ke perpustakaan Leiden pada bulan November 1597, dan dibawa oleh Belanda dari Hindia dengan kapal pertama. Naskah tersebut ditempatkan dibawah katalogus no. XVII Kal. Octob. 1599.
Pada awalnya JGH Gunning mengatakan bahwa ꦤꦱ꧀ꦏꦃ naskah ini ditulis di Bali atau Lombok, tetapi beberapa bukti tidak mendukung hal tersebut. Bukti pertama, bahwa di Bali atau Lombok saat kapal Belanda mendarat di situ itu tidak ditemukan adanya penduduk beragama muslim. Bukti kedua, bahwa jika ditulis di Bali/Lombok sudah seharusnya naskah ditulis memakai aksara Bali dan bukan aksara Jawa.
Dalam ꦣꦺꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀ꦱꦶ deskripsi perjalanan kapal juga tidak menjelaskan bagaimana naskah itu diperoleh, apakah dengan cara membeli, menukar atau dengan cara perampasan/perampokan, karena saat ditemukan pustakawan Leiden, naskah tersebut sudah berada di tangan pedagang.
Akhirnya disimpulkan bahwa naskah tersebut diperoleh di daerah ꦗꦮꦠꦶꦩꦸꦂ Jawa Timur, sebab dari rute perjalanan kapal yang membawa naskah tersebut diketahui bahwa Belanda sempat tinggal beberapa hari di daerah Sedayu (Sidayu, Gresik). Pada tahun 1597/1598 ada perdagangan langsung di Tuban (Jarak Tuban ke Sidayu sekitar 80 KM) dan setelah tahun itu tidak pernah ada lagi perdagangan di daerah itu.
Maka dapat diambil kesimpulan, naskah ꦱꦸꦤꦤ꧀ꦧꦺꦴꦤꦁ Sunan Bonang (Het Boek van Bonang) dibawa oleh Belanda dari daerah Tuban atau Sidayu di Jawa Timur. Diduga ada beberapa sanak keluarga sunan Bonang yang tinggal di daerah Desa Bejagung Selatan, Tuban, Jatim.
Diketahui bahwa saat ini, ꦏꦶꦠꦧ꧀ Kitab Sunan Bonang ini masih dianggap sebagai peninggalan tertua naskah beraksara Jawa (CMIIW) yang masih terawat sejak ditemukan hingga kemudian dijadikan bahan disertasi penelitian oleh BJO. Schrieke yang diterbitkan pada tahun 1916 (kurang lebih 318 tahun sejak ditemukan) dan naskah ini masih tersimpan di Leiden University dalam kondisi baik.
Beberapa cara penulisan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ aksara Jawa pada Kitab Sunan Bonang (dalam analisa Bayu):
1. ada pemakaian ꦥꦁꦏꦺꦴꦤ꧀ pangkon di tengah kata (dalam satu kata)
2. penggunaan aksara ha untuk kata² yang saat ini diketahui diucapkan dengan aksara ꦱ꧀ꦮꦫ swara
3. aksara ꦔ nga dipasangi di tengah kata (dalam satu kata), tapi ada juga pemakaian cecak di tengah kata (dalam satu kata)
4. penggunaan ꦥꦱꦔꦤ꧀ pasangan sa seperti yang dipakai ejaan SW, ternyata penggunaan pasangan ini sudah ada sejak abad 15-16
5. sudah ada kata yang ꦣ꧀ꦮꦶꦠ dwita (double) saat diberi panambang
6. sudah ada aksara ꦉꦏꦤ꧀ rekan (cecak tiga)
7. masih ada sambungan dua kata yang menggunakan ꦱꦱ꧀ꦠꦿꦭꦩ꧀ꦥꦃ sastra lampah
8. sudah memakai ꦭꦪꦂ layar seperti ejaan SW di akhir kata, tapi ada juga beberapa layar yang kemudian disusul aksara yang didwita (di tengah kata dalam satu kata)
9. penggunaan ꦮꦂꦒꦄꦏ꧀ꦱꦫ warga aksara (sa puspa digunakan setelah layar)
10. penggunaan aksara da dantya ꦩꦲꦥꦿꦤ Mahaprana sebagai aksara dha
11. keunikan dengan menghilangkan pepet di awal kata (mirip dengan Gunning 1881: bcik=bĕcik) pada beberapa ꦏꦠ kata menggabungkan konsonan (tgĕse=tĕgĕse, sabnĕre=sabĕnĕre, dan masih banyak lainnya)
12. pasangan ba memakai ꦥꦱꦔꦤ꧀ pasangan yang sama dengan aksaranya (sama seperti pasangan ba cara Kawi)
13. beberapa ꦏꦼꦱꦭꦲꦤ꧀ kesalahan tulis dilakukan dengan langsung mencoret aksara/sandhangan yang salah tersebut.
14. dan masih banyak hal unik lainnya.
Kitab Sunan Bonang (Het Boek van Bonang) menggunakan bahasa Jawa ꦥꦼꦂꦠꦼꦔꦲꦤ꧀ Pertengahan, maka bisa diduga ditulis pada zaman Majapahit. Diduga pada zaman keemasan Majapahit, komunitas muslim sudah hidup secara harmonis.
Karena diduga kitab ini ada hubungannya dengan Sunan Bonang (1465-1525), bisa ditinjau bahwa naskah ini ditulis pada rentang tahun antara 1500 s.d. pertengahan abad 16. Artinya, pada saat itu, di ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Majapahit sudah berkembang aksara Jawa carakan dengan cara penulisan seperti karakteristik di atas.
Prasasti Batu ꦱꦶꦁꦲꦱꦫꦶ Singhasari (1351 M) masih beraksara Kawi (periode aksara Kawi Baru). Aksara Kawi diperkirakan mulai berubah bentuk menjadi carakan pada sekitar tahun 1400-an. Perubahan bentuk ini tidak lepas karena terjadinya perubahan bunyi bahasa yang digunakan, dan mulainya penggunaan aksara oleh masyarakat yang tidak melulu dimonopoli oleh para pujangga kerajaan saja.
Maka ada kemungkinan juga masyarakat turut terlibat aktif dalam ꦥꦼꦫꦸꦧꦲꦤ꧀ perubahan bentuk ini. Di samping itu, sejak abad 13 ini sudah mulai populer penggunaan kertas daluang untuk kegiatan menulis. Menulis di kertas daluang lebih mudah daripada mengukir batu prasasti. Perubahan bentuk menjadi lebih mungkin terjadi secara revolusi karena setiap penulis memiliki “sentuhan gaya” penulisan masing masing.
Ada beberapa peneliti mengatakan bahwa bahasa ꦏꦮꦶ Kawi berbeda dengan bahasa Jawa Kuno, artinya: bahasa Kawi adalah bahasa dengan diksi pilihan untuk dituliskan dalam Kakawin atau Prasasti, sementara bahasa Jawa Kuno sendiri merupakan bahasa pergaulan yang berkembang sesuai dinamika masyarakat, maka penambahan kosa kata dan dialek mempengaruhi bunyi dan perubahan bahasa.
Kitab ꦱꦸꦤꦤ꧀ꦧꦺꦴꦤꦁ Sunan Bonang menunjukkan bahwa penulisan ini memakai bahasa komunikasi/ pergaulan saat itu, yaitu periode bahasa Jawa Pertengahan dan bentuk aksaranya sudah mendekati bentuk carakan.
Pertanyaan menggelitik:
Apakah ada kemungkinan bahwa aksara Kawi hanya digunakan oleh para ꦥꦸꦗꦔ꧀ꦒ pujangga kerajaan untuk menulis bahasa Kawi (diksi sastra Jawa Kuno yang diterapkan pada prasasti), dan pada saat yang sama di masyarakat mulai ada kebutuhan dokumentasi naskah dengan bahasa pergaulan (Jawa Kuno – Jawa Pertengahan) sehingga memunculkan bentuk awal aksara Jawa carakan karena efek seni menulis di kertas daluang yang mulai semarak?
Mari kita coba ꦥꦼꦭꦗꦫꦶ pelajari bersama. Yang pasti, melihat perkembangan dari aksara Kawi ke aksara Jawa ada hal menarik bahwa penggunaan pasangan yang berbeda dari aksara Kawi sudah muncul sejak abad 16.
Mari kita semua ꦩꦼꦭꦶꦲꦠ꧀ melihat bahwa sebetulnya bukan bentuk pasangan benar salah yang penting, tradisi dan sejarah berabad lampau sudah menulis tinta emas bahwa perubahan terjadi karena dinamika dan perkembangan. (Bayu Nerviadi/nng)