Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Sebuah foto lama dari koleksi KITLV menggambarkan sebuah gereja protestan di kota Lama (Eropa) Surabaya. Gereja ini berdiri di lokasi dimana sekarang telah berdiri gedung Internasio. Posisi gereja kala itu berada di sisi selatan gedung Internasio dan menghadap ke jalan Heerenstraat (sekarang jalan Rajawali). Tampak dalam foto, yang diambil pada kisaran 1860-an, adalah formasi foto grup umat kristiani mulai dari anak anak hingga orang dewasa. Mereka berbaris melebar.

Kala itu pakaian mereka ala warga lokal, Jawa Surabaya. Yaitu memakai sarung atau kain untuk bawahan dan beskap atau baju lengan panjang untuk atasan. Di kepala dihiasi kain ikat sebagai mahkota. Mereka adalah umat Kristiani.

Dari sisi pakaian, umat Kristiani ini berpakaian tak ubahnya warga umat Islam dari etnis Jawa di Surabaya. Umat Islam dan Kristen berpakaian sama ketika beribadah: datang ke masjid dan gereja.
Pemandangan yang serupa juga terjadi ketika penulis datang ke gereja GKJW Wiyung Surabaya pada tahun 2010. Penulis sedang bertugas melakukan kegiatan jurnalistik video tentang sejarah GKJW Wiyung Surabaya.
Saat itu penulis bertemu dengan seseorang yang bersarung, berbaju lengan panjang dan berkopyah hitam. Karena berpakaian demikian, ala islami (menurut pandangan penulis), maka penulis pun memberi salam “assalamualaikum”. Dijawabnya dengan balasan “waalaikumsalam salam”.
Kegiatan jurnalistik (televisi) pun berjalan. Sampai pada saatnya, penulis minta bantuan kepada salah satu jamaat gereja, yang juga teman sekerja di industri media. Namanya Robert Olivandi. Ketika diajak mendatangi sebuah ruanga, maka ketemulah dengan seorang narasumber untuk wawancara.
Sang Nara sumber sedang sibuk memberi pelajaran Al kitab, Injil. Ternyata Narasumber adalah seseorang yang berpakaian ala Islami (bersarung, berbaju batik lengan panjang dan berkopyah) yang sempat berpapasan di lingkungan gereja. Dia adalah penginjil, mengajarkan Al kitab.
Penulis baru tersadar bahwa orang yang berpakaian ala Islami tersebut adalah guru Al kitab. Kata Robert, guru Al kitab itu juga dipanggil Kiai.
Melihat fakta itu bahwa ternyata, zaman dulu, pakaian orang Jawa sebagaimana dikenakan warga Nasrani seperti tampak pada foto di Gereja Protestan Kota Lama Surabaya, meski agamanya Kristen.
Pakaian adalah tradisi. Siapapun dan apapun agama dan kepercayaannya, pakaiannnya adalah ala Jawa: bersarung (berkain), berbaju batik lengan panjang (beskap) dan berkopyah (menggunakan penutup kepala).
Sementara, sebutannya untuk sang pengajar (guru) adalah Kiai. Ini tradisi yang terjadi dan umum pada masa lalu. Kiai atau Kyai bagi pemahaman Jawa adalah sebutan untuk “yang dituakan ataupun dihormati” baik berupa orang, ataupun barang.
Sekarang bisa jadi telah berbeda dan berubah. Pakaian sering dipakai untuk membedakan suatu kelompok dan golongan. Akhirnya, golongan A mengenakan pakaian berwarna Putih. Sedangkan golongan B mengenakan pakaian berwarna Hijau.
Gaya dan kebiasaan berpakaian adalah tradisi. Tradisi adalah kebijakan turun temurun, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara kultural. Sementara agama adalah proses pewahyuan yang mengandung konsep bagi “umat beriman”, apapun pakaiannya (tradisinya).

Orang Jawa berpakaian sesuai tradisinya. Sementara orang Jawa memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda beda. Ketika mereka beribadah, maka mereka beribadah sesuai keyakinannya dengan berpakaian sesuai tradisinya.
Karenanya dalam tradisi unduh unduh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), para jemaat berpakaian ala tradisi Jawa. (PAR/nng)