Suko Widodo: Aksara Bukan Sekedar Huruf, Tapi Penanda 

Aksara:

Rajapatni.com: SURABAYA – Sesanti “Surabaya Wani” tidak sekedar rangkaian huruf menjadi kata. Lagipula Kata “Wani” tidak hanya berkonotasi tindakan fisik seperti perang tanding seperti dulu. Wani, yang bernyali juga berarti berani akan kebenaran. Arek Surabaya pun bersesanti “Salam Satu Nyali, Wani!”.

Keberanian Arek Arek Surabaya seharusnya dalam wujud berani demi kebenaran. Tak jarang keberanian semacam ini menyakitkan tapi lebih sakit lagi jika kebenaran tidak ditegakkan dan dijunjung tinggi.

 

Keberanian Dalam Membuat Aturan

Keberanian ini termasuk upaya menata dan mengatur suatu aturan. Belakangan DPRD Kota Surabaya sedang menggodok Raperda Inisiatif tentang Pemajuan Kebudayaan. Sang inisiator, A. Hermas Thony dari awal menginisiasi Raperda ini, mendapati 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan, yang susunannya dinilai compang camping alias tidak urut dari yang pertama hingga yang kesepuluh.

Pertanyaannya adalah apakah ke sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan itu asal dikelompokkan alias terkumpul 10 Obyek tanpa menghiraukan urutan, yang logis dan mengandung hukum sebab-akibat alami dan kultural.

Seiring dengan proses pembahasan Raperda Pemajuan Kebudayaan di DPRD Kota Surabaya, Sang inisiator A. Hermas Thony, selain sudah dari awal menyusun urutan yang logis dan berdasarkan hukum sebab akibat, didapati ada obyek kebudayaan yang seharus diatur dalam Pemajuan Kebudayaan.

Yaitu aksara. Aksara seharusnya menjadi obyek tersendiri, yang keberadaanya dianggap sebagai awal mula peradaban. Sehingga jumlah Objek Pemajuan Kebudayaan ada 11 atau 10+1.

Aksara sebagai obyek kebudayaan memegang peranan penting dalam proses berkebudayaan, yang alami dan logis. Menurut dosen Prodi Menejemen Komunikasi Universitas Pajajaran Deddy Wirakusuma bahwa sebuah peradaban berawal dari Aksara.

Sementara itu ragam peradaban dapat dilihat dari 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan. Thony berpendapat, yang ternyata pendapatnya, relevan dengan pendapat Deddy Wirakusuma bahwa aksara adalah sebagai obyek kebudayaan, dan posisinya harus lebih awal dari semua obyek yang ada alias nomor satu dalam urutan logis, yang berhukum sebab-akibat.

 

Urutan Logis

Adapun urutan logis yang berhukum sebab-akibat menurut Thony adalah 1) Aksara, 2) Manuskrip, 3) Bahasa, 4) Tradisi Lisan, 5) Adat Istiadat, 6) Ritus, 7) Pengetahuan Tradisional, 8) Seni, 9) Teknologi Tradisional 10) Emainan Rakyat dan 11) Olahraga Tradisional.

Bisa jadi urutan itu dianggap salah dengan alasan tidak sesuai dengan Undang Undang di atasnya, yang mungkin saja, menurut Thony, sekedar mengelompokkan tanpa mengindahkan urutan yang masuk akal.

 

Urutan Kurang Logis

“Masak dari 10 Obyek itu diawali oleh 1) Tradisi Lisan, 2) Manuskrip, 3) Adat istiadat, 4) Ritus, 5) Pengetahuan tradisional, 6) Teknologi tradisional, 7)Seni, 8) Bahasa, 9) Permainan rakyat, 10). Olahraga tradisional. Ini urutan yang tidak logis dan tidak mengandung hukum sebab akibat.” Jelas Thony.

Pendapat Thony, yang menempatkan Aksara sebagai objek kebudayaan di posisi awal sesuai dengan pendapat dosen prodi menejemen komunikasi universitas Padjadjaran, Deddy Wirakusuma. Deddy mengatakan peradaban bermula dari aksara.

 

Menurut Suko Widodo

Suko Widodo, pakar komunikasi. Foto: surya

Sementara dari Surabaya, pakar ilmu komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo, membenarkan pendapat Thony yang mengurutkan obyek obyek pemajuan kebudayaan dengan penambahan Aksara pada posisi pertama.

“Aksara itu penanda. Bukan sekedar huruf. Semestinya Surabaya punya penanda atau tetenger. Itu penting untuk masa lalu, kini dan apalagi ke depan.” Jelas Suko Widodo.

Terkait dengan pendapat Suko Widodo, sesungguhnya Surabaya memiliki data tentang keberadaan Surabaya sebagai sebuah desa di tepian sungai (Naditira Pradeca) sebagaimana tersebut dan tertulis pada sebuah prasasti Canggu yang barangka tahun 1358 M. Prasasti ini tertulis dalam Aksara Jawa Kuna atau Aksara Kawi.

Pernyataan itu disampaikan Thony dalam rapat Pansus Raperda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya.

Atas temuan dan pendapat yang logis itu, Surabaya harus berani menyempurnakan. Ini hakekat berani (wani) yang tidak hanya fisik, tetapi intelektual. Melalui Perda, Surabaya berani bersikap demi kebenaran dan kebaikan. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *