Serial Javagraph (1): Jejak Aksara Jawa Tertua di Surabaya

Rajapatni.com: Surabaya (10/10/24) – Raden Rahmat atau yang lebih populer disebut Sunan Ampel adalah salah satu dari sembilan wali atau Wali Songo, ulama penyebar agama Islam di pulau Jawa. Disebut Sunan Ampel karena ia bertempat di Tanah Perdikan Ampel Denta, suatu kawasan kuno di antara dua sungai: Kalimas dan Pegirian. Ampel Denta terletak di bagian hilir sungai yang mengalir melewati kota Surabaya.

Ampel Denta, zaman dulu, adalah satu bagian dari wilayah kerajaan Majapahit. Sunan Ampel sendiri hidup di masa akhir Kerajaan Majapahit. Dalam penyebaran agama Islam, Sunan Ampel ramah budaya dn menghargai tradisi setempat. Misalnya, secara fisik, arsitektur pembangunan masjid, yang sekarang bernama Masjid Ampel, menggunakan gaya Jawa.Hindu.

Interior Masjid Ampel dengan konstruksi kayu sebagai soko guru. Foto: salsawisata.com

Gaya arsitektur ini tampak pada penggunaan soko guru yang terbuat dari kayu jati. Sementara di bagian luar, pada bagian atap banggunan, menggunakan konsep Jawa Hindu, yaitu berupa meru bertingkat tiga atau tiga berundak, dimana pada pucuknya berupa mahkota Mojopahitan. Meski bercorak Jawa Hindu, umat Islam dapat melakukan ibadah dengan khusuk.

Masjid Ampel peninggalan Sunan Ampel menjadi jujukan awal bagi mereka yang melaksanakan ziarah Wali Songo. Karena sebagai wali yang tertua, maka para peziarah mendahulukan berziarah ke Sunan Ampel sebelum menuju ke 8 Sunan lainnya yang berakhir di Jawa Barat. Masjid ini tidak pernah sepi dari jamaah. Apalagi di bulan Ramadan.

Gapura Masjid Ampel yang menghadap ke jalan Sasak. Foto: nanang

Ciri khas dari komplek Sunan Ampel ini adalah keberadaan Gapura. Ada lima gapura yang berbentuk Paduraksa. Paduraksa adalah memadukan dua rasa. Yakni koneksi rasa antara para peziarah dan yang didoakan.  Gapura Paduraksa adalah salah satu dari dua model gapura Majapahitan. Satu model Paduraksa. Lainnya disebut model Bentar. Tata ruang komplek Sunan Ampel dihubungkan dengan gapura gapura ini sehingga membentuk tata ruang tiga berundak.

Tiga berundak ini adalah khas Hindu Jawa, yang teraplikasikan pada pemakaman para wali, makam Islam, termasuk tata ruang komplek Sunan Ampel. Tata Ruang Tiga Berundak ini adalah ruang njaba (luar), Ruang Tengah (tengah) dan Ruang Njero (dalam). Ruang dalam dianggap yang paling sakral dimana disana dikuburkan orang yang dihormati. 

Secara filosofi bahwa tiga berundak memiliki tiga tingkatan yang di setiap tingkatannya memiliki makna. Yaitu pertama (jaba) melambangkan kehidupan janin pada saat manusia masih berada di dalam kandungan. Kedua (tengah) melambangkan kehidupan manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dan Ketiga melambangkan kehidupan manusia pada saat sudah meninggal dunia.

Di salah satu gapura, yaitu gapura paling selatan, yang menghadap Jalan Sasak dan menjadi gerbang pertama, terdapat pahatan beraksara Jawa. Aksara ini diduga dibuat pada saat pembangunan gapura pada abad 15 atau setelah Sunan Ampel wafat. 

Blandar kayu dengan aksara Jawa di gapura yang menghadap ke jalan Sasak. Foto: nanang

Di Surabaya, pahatan aksara Jawa ini terhitung aksara Jawa yang paling tua. Menurut pembacaan ahli dari Museum Mpu Tantular, aksara ini berbunyi Adhanawalewa Wawadha Arangu Asasawapa, yang artinya barangsiapa melewati gapura ini, mereka akan dilindungi.

Bangunan Masjid Ampel dan tata ruang yang ada menunjukkan akulturasi budaya. Selain ada corak Islam, juga ada gaya Hindu Jawa. Secara fisik menampilkan gaya Jawa dan kolonial karena pada pertengahan abad 19, di era kolonial, dilakukan perluasan masjid yang menggunakan aksentuasi pilar pilar batu. Meski demikian, corak lokal dengan menggunakan unsur kayu masih dipertahankan. 

Penggunaan unsur kayu juga ada pada konstruksi gapura. Ternyata pada bagian kayu di gapura yang menghadap jalan Sasak terdapat pahatan beraksara Jawa. Selama ini, pahatan aksara Jawa pada gapura ini seolah tersembunyi karena pahatan aksaranya tertutup lapisan cat. Pahatan aksara Jawa ini baru diketahui tahun 2018. Dengan demikian, kiranya terkuak bahwa aksara Jawa menjadi sarana tulis pada era Sunan Ampel di abad 15 atau 16 setelah wafat. (PAR/nng)

Bersambung…..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *