Serial Javagraph (3): Jejak Peradaban Literasi Pada Nisan Kubur.

Rajapatni.com: Surabaya (14)10/24) – Nisan kubur umumnya menjadi petunjuk jejak peradaban masa lalu. Keberadaannya memberi informasi tentang si ahli kubur, mulai nama, data kelahiran dan kematin hingga riwayat hidup singkatnya.

Makam kuno di pesarean Boto Putih Surabaya dengan nisan beraksara Jawa mendapat perhatian dari sejarawan Belanda. Foto: nanang

Ada makam makam kuno di Surabaya dan sekitarnya. Jika ditelusuri siapa ahli kuburnya, maka bisa terungkap sekilas gambaran tentang daerah itu. Misalnya pemakaman tua di Boto Putih Pegirian Surabaya. Disana ada makam para bupati Surabaya, yang berarti bahwa di Surabaya pernah berbentuk pemerintahan Kabupaten. Di makam Eropa Peneleh ada makam seorang residen, ini menunjukkan bahwa pemerintahan Surabaya juga pernah berbentuk Karesidenan, yang wilayah hukumnya lebih luas daripada Kabupaten.

Komplek Pesarean Bupati Gresik Pusponegoro yang penuh Aksara Jawa. Foto: nanang

Juga di daerah tetangga, misalnya Gresik, di sana ada komplek pemakaman para bupati juga. Makam K T. Pusponegoro (1699-1732), bupati pertama Gresik. Di komplek makam bupati pertama Gresik ini didapati banyak Aksara Jawa, yang digunakan sebagai deskripsi riwayat para ahli kubur. Kala itu, jelas sekali bahwa literasi tulis masih menggunakan Aksara Jawa, meski bangsa Eropa sudah mulai masuk kawasan ini.

Pendokumentasian berupa relief, sebuah trend di masanya. Foto: nanang

Bangsa Eropa adalah mereka, yang menggunakan dan memperkenalkan penggunaan Aksara Roman ke Tanah Nusantara, termasuk ke Jawa. Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman, akhirnya Aksara Jawa tersingkir oleh Aksara Roman (Latin). Sekarang bangsa Nusantara menggunakan Aksara Roman, Aksara asing. Sementara Aksara Jawa menjadi asing, yang lebih asing daripada Aksara asing. Ironis.

Kita harus ingat fakta sejarah dan jatidiri bangsa. Melalui fakta Aksara, misalnya Jawa, para leluhur adalah orang orang intelek. Mereka mendokumentasikan ilmu. Misalnya resep obat, kuliner dan cara cara melakukan sesuatu yang kita kenal dengan tekhnik traditional. Mereka bisa mendokumentasikan sejarah dan fakta. Sejarah adalah fakta.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman, sarana pendokumentasian berganti. Menurut pendiri komunitas Aksara Jawa Surabaya, Ita Surojoyo, sarana pendokumentasian bermula dari batu, lalu logam dan daun (lontar) serta daluwang yang dibuat dari bahan pepohonan serta terakhir kertas.

Sekarang di era modern, pendokumentasian bahkan melalui cara cara tekhnologi dan digital. Apapun caranya, Aksara adalah ekspresi bunyi dari bahasa yang digunakan kala itu. Ada bahasa Jawa Kuna (Kawi), ada bahasa Sansekerta, serta bahasa Madura, yang simbolisasi penulisannya menggunakan Carakan (Aksara Jawa).

Sekarang, dari Aksara Kawi (Jawa Kuna) dan Carakan (Jawa Baru), apalagi Aksara Kawi, yang masih digunakan adalah Aksara Jawa. Tetapi penggunaannya masih sangat terbatas dan malah terancam punah jika tidak ada upaya upaya Pelestarian.

Mengenalkan kembali Aksara Jawa seperti yang dilakukan oleh beberapa komunitas adalah niatan luhur demi menjaga identitas Nusantara. Semakin modern seperti saat ini, mengenalkan dan mengkampanyekan Aksara Jawa tidak hanya melalui cara cara manual, tetapi juga sudah masuk melalui cara cara digital, termasuk didalamnya ada proses transliterasi secara digital. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *