
Rajapatni.com: SURABAYA – Sengkalan adalah penanda waktu, menunjukkan angka tahun, yang dihasilkan dari rangkaian kata (frasa) dan gambar (relief dua dimensi dan benda tiga dimensi yang berupa arca baik yang terbuat dari batu atau kayu).
Karenanya sengkalan ada dua jenis. Yakni Sengkalan Memet dan Sengkalan Lamba. Sengkalan lamba adalah penanda waktu yang berbentuk rangkaian aksara. Sedangkan sengkalan Memet adalah penanda waktu yang berbentuk gambar, relief, atau patung.
Sengkalan Majapahit

Ada beberapa sengkalan terkenal. Diantaranya adalah sengkalan penanda runtuhnya Kerajaan Majapahit. Sengkalan ini berbunyi “Sirna Ilang Kertaning Bumi”.
Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” ini merupakan penanda waktu, yang digunakan di masa lalu untuk merujuk pada angka tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.
Karenanya sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bumi bermakna Sirna = 0, Ilang = 0, Kertaning = 4 dan Bumi = 1. Untuk mendapatkan tahun yang dimaksud, kata-kata dalam sengkalan harus dibaca secara terbalik (dari belakang). Maka dari urutan angka 0-0-4-1 dibaca menjadi 1400 Saka. Ketika dikonfersikan ke Masehi, umumnya ditambahkan 78, maka menjadi tahun 1478 M.
Sengkalan 1478 ini dikaitkan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Penanda waktu ini menggambarkan gugurnya Bhre Kertabhumi, raja ke-11 Majapahit, pada tahun 1478.
Tahun 1478 M adalah memang wafatnya Bhre Kertabumi, raja ke 11 Majapahit. Ia dikenal sebagai bangsawan Majapahit setelah mengalahkan pamannya, Suraprabhawa (Raja Majapahit ke-10).
Sengkalan Mataram

Sengkalan ini didapat dari dalam Krayon Ngayogyakarta Hadiningrat. Bunyinya Dwi Naga Rasa Tunggal. Sengkalan ini bentuknya ukiran kayu tiga dimensi yang berimage sepasang ular naga dalam satu kesatuan.
Arti kata-kata dari perlambang sepasang naga itu adalah Dwi berarti 2, Naga melambangkan angka 8, Rasa melambangkan angka 6, dan Tunggal berarti 1. Secara berurutan menjadi 2861 sehingga kalau dibaca terbalik menjadi 1682 Saka atau 1756 Masehi.
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal ini dipasang oleh Hamengkubuwana I untuk menandai peresmian Keraton Yogyakarta yang baru ada 1756 M. Jadi, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun pada 1756.
Adapun makna dari sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal adalah nilai Kesatuan kegotong-royongan, Kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin Hamengkubuwana I.
Sengkalan Gapura Candi Sukuh

Candi Sukuh secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Di komplek candi ini terdapat gugusan artefak yang kaya akan makna. Salah satunya pada gugusan utama. Yaitu bangunan yang berbentuk seperti bangunan Maya.
Pada dinding depannya terdapat ukiran relief, yang menggambarkan raksasa memakan manusia. Buta Mangsa Jalma, lengkapnya Gapura Buta Mangsa Jalma.
Sengkalan ini tergolong Sengkalan Memet karena berupa gambar relief dua dimensi. Gapura buta mangsa jalma, artinva: gapura = pintu gerbang, yang berarti angka 9. Sedangkan Buta atau raksasa berarti angka 5. Mangsa atau makan berarti angka 3 dan Jalma yang berarti manusia disimbolkan angka 1.
Maka jika angka angka itu diurutkan secara terbalik jadinya 1359 Saka atau tahun 1437 M. Diduga angka tahun 1437 M adalah tahun peresmian pintu gerbang di Candi Sukuh.
Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah ini diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Ratu Suhita dari Majapahit, yang berkuasa 1429-1446. Jadi, Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.
Sengkalan Gapura Ampel (Surapringga)

Sengkalan juga terdapat di Surabaya, yang dulu pernah bernama Surapringga. Sengkalan ini berada di blandar kayu pada salah satu Gapura di komplek Sunan Ampel. Tepatnya di gapura Munggah, gapura paling selatan yang menghadap ke jalan Sasak.
Sengkalan pada Gapura Ampel ini termasuk jenis Sengkalan Lamba karena berupa rangkaian aksara, yang menggunakan Aksara Jawa. Menurut pembacaan ahli dari Museum Mpu Tantular pada 2018 tulisan aksara Jawa ini berbunyi “Adhanawalewa Wawadha Aranga Asasawapa”, yang diperkirakan merujuk angka 1461. Adhanawalewa berangka 1. Wawadha adalah 4. Aranga berangkat 6 dan Asasawapa berangka 1.
Jadi, kalau dibaca dari belakang menjadi 1641 Saka atau 1719 M. Diduga tahun 1719 adalah angka tahun dibangunnya gapura Ampel.
Untuk mengupdate pembacaan “Adhanawalewa Wawadha Aranga Asasawapa”, komunitas Aksara jawa Surabaya bersurat ke Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI untuk menemukan makna literasi sengkalan itu. (PAR/nng).