Sejarah Literasi Aksara Jawa dan Latin Terbingkai di Jalan Mliwis Surabaya.

Rajapatni.com: SURABAYA  – Ketika lima mahasiswa UPN Surabaya dari Fakultas Ilmu Sosial, Budaya dan Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi melacak jejak peradaban budaya di zona Eropa, Kota Lama Surabaya, pada Senin (16/12/24), mereka mengkonotasikan zona Eropa dengan nama Benua Biru. Zona Eropa adalah suatu wilayah yang dipetak petak atas dasar Wijkenstelsel dan wilayah ini dihuni warga Surabaya dari etnis Eropa di era kolonial.

Sebagian dari wilayah Kota Lama Surabaya yang dibelah oleh Sungai Kalimas. Foto: ist

Memang tidak salah bahwa di wilayah Kota Surabaya, yang  sekarang luasnya sekitar 375 km2, dulu ketika mengawali sebagai Kota modern, wilayah ini digunakan sebagai kawasan permukiman bangsa Eropa, yang sebagian warganya bermata biru. Kawasan ini berada di tepian Barat Sungai Kalimas. Kala itu luasnya masih sekitar 200 meter x 200 meter, yang berarti  4000 m2 atau 0,4 hektar. Sebuah ukuran yang sangat kecil untuk sebuah Kota.

Sebagian dari wilayah Kota Lama Amersfoort, Belanda. Foto: britanica.com

Sementara kalau dibandingkan dengan Kota Lama Amersfoort di Belanda, kota ini lebih besar. Ukuran terpanjang sekitar 500 meter. 

“The old city of Amersfoort, Netherlands, is roughly around 500 meters wide at its widest point, encompassing the historic center with its canals, squares, and medieval streets”, begitu cuplikan informasi yang diambil darI britanica.com 

Kota Lama Amersfoort di Belanda dan Kota Lama Surabaya secara tata ruang dan fungsi memiliki kemiripan. Kota Lama Surabaya adalah sebuah duplikat sebuah Kota di Belanda. Wilayahnya dikelilingi tembok. Di dalam Wilayah Kota Bertembok Surabaya pernah ada Balai Kota (Stadhuis), Alun Alun Kota (stadsplein) dan Gereja (kerk), termasuk kanal kanal dan Jembatan yang membelah belah Wilayah.

Sekarang, karena perkembangan zaman, infrastruktur lama telah berganti fungsi dan berubah menjadi lainnya yang terhitung masih peninggalan dari era Kolonial.

Kota Lama Amersfoort yang berkalang kanal. Foto: ibritanica.com

 

Peninggalan peradaban karya cipta manusia itu di antaranya adalah literasi Aksara, Arsitektur, karya seni dan bahkan makanan.

Berdasarkan gambar peta lama, (litografi), Surabaya di tahun 1750-an, masih di era VOC, bahwa sebelum ada kawasan Eropa, di sana telah bermukim warga lokal. Pada litografi terbaca adanya keterangan Kampung van Pangeran Sumenep, menjelaskan pernah adanya Wilayah keluarga kekratonan Madura di Surabaya. Keberadaan masyarakat Madura ini dikuatkan dengan dijadikannya kawasan ini sebagai perbentengan bangsawan Madura, Trunojoyo. Warga pribumi lainnya adalah masyarakat Jawa, yang wilayahnya tertulis Kampung Jawa.

Secara kultural dan sosial, antar warga disana terikat dalam satu kontak komunikasi. Secara lisan (oral) orang etnis Jawa menggunakan bahasa Jawa. Sementara orang etnis Madura menggunakan bahasa Madura. Namun secara tulis (written) mereka sama sama menggunakan Aksara Jawa. 

Di kawasan Eropa ini pernah ada sebuah sebuah placard peringatan akan bahaya aliran listrik yang ditulis dalam Aksara Jawa dan bahasa Belanda serta Melayu. Plakard ini tertempel pada pintu sebuah gardu listrik, namun placard itu telah hilang.

Hadirnya sebuah komunitas Aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni, yang mempelajari sejarah kawasan Eropa di Kota Lama Surabaya mencoba mengedukasi warga setempat dan pengunjung kawasan Kota Lama Surabaya dengan memasang banner banner nama usaha dan peta kawasan dengan menggunakan Aksara Jawa.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi bahwa di kawasan ini sebelum ada Aksara asing, Latin, terlebih dahulu sudah ada Aksara Jawa. Akhirnya penggunaan Aksara Latin dipakai untuk nama perusahaan seperti pabrik Lemoen J.C. van Drongelen & Hellfach. Juga ada nama perusahaan Asuransi Jiwa “Nederlandsch-Indische Levensverzekering- en Lijfrente-Maatschappij, yang umum disingkat NILLMIJ. Kata dan frasa dalam bahasa Belanda ini menggunakan Aksara Latin. 

Informasi jejak budaya ini menjadi masukan bagi mahasiswa UPN Surabaya yang sedang melakukan tugas pembuatan film dokumenter. Mereka adalah Aljannata Putra, Ikhwan Fillah, Annisa Zahra, Daniel Evanda Dan Hilmi Akbar.

Mensetarakan kembali aksara Jawa dengan aksara Latin di jalan Mliwis. Foto: nanang

Pemandangan budaya literasi tradisi Jawa dan modern Latin ini terlihat di jalan Mliwis. Disana tertulis Aksara Jawa dan Aksara Latin yang merupakan peninggalan era Belanda. Jejak budaya lokal Nusantara juga bisa diamati pada sebuah bangunan modern di abad 20 yang dibangun pada 1901. 

Bangunan ini terkenal dengan nama Gedung Singa, sebuah karya bersama dari tiga artis. Yakni HP Berlage (Arsitekt), Mendes da Costa (pematung) dan Jan Toroop (seniman mozaik keramik). Gedung Singa, yang nama formal dan aslinya De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam. menjadi sebuah landmark Kota Lama Surabaya.

Jalan Jembatan Merah berpagar gedung raya. Foto: nanang

Menurut sejarawan asal Belanda Petra Timmer bahwa gedung Singa ini sesungguhnya adalah perwujudan Arsitektur lokal yang didesain dalam satu kesatuan gaya Arsitektur, yang dibuat oleh Berlage. Tampak depan pada bagian fasade atas, terlihat sosok bangunan khas Toraja dengan pewarnaan cat yang beragam. Juga ada gaya khas Jawa dalam desain ini. Jadi secara desain arsitektur, gedung De Algemeene ini mengusung konsep Lokal Nusantara.

Masih ada peninggalan peradaban budaya Eropa khususnya Belanda yang ada secara umum di Surabaya. Misalnya jika Kita bicara tentang kuliner. Di Surabaya dikenal kue klappertart, spekkoek, kaastengels, resoles dan perkedel. Hingga sekarang kue kue itu tidak asing di masyarakat Kita.

Dua model arsitektur berbeda zaman. Foto: nanang

Secara fisik kawasan zona Eropa ini memiliki bangunan bangunan khas kolonial mulai dari yang bergaya Klasik, Indies hingga modern. Di dalam kawasan bekas kota bertembok ini juga masih berdiri bangunan bangunan dengan gaya abad 18. Secara fisik, bangunan dari abad 18 ini tidak seindah bangunan kolonial dari abad 20. Karenanya,  kondisinya menjadi rawan dibongkar dan digantikan bangunan baru. jika itu terjadi, maka hilanglah sejarah perkembangan kota di kawasan ini. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *