Rajapatni.com: Surabaya (20/8/24) – Pelestarian budaya, khususnya aksara Jawa, memang tidaklah mudah. Apalagi aksara Jawa itu bersifat ꦠꦿꦣꦶꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ tradisional, yang ada di tengah tengah kehidupan dan masyarakat modern seperti di Surabaya. Tradisi dan modernisasi seolah menjadi dua kutub yang berbeda. Fakta ini ada di negara kita. Tapi tidak demikian di negara yang memang sudah maju seperti Jepang dan China, dimana tradisi dan modernisasi bisa bersatu.
Paling dekat, yang bisa dipakai sebagai contoh adalah di ruas jalan ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦗꦼꦥꦸꦤ꧀ Kembang Jepun Surabaya. Di sana aksara Hanzi China sudah bertebaran di depan toko toko sebagai signagenya. Pengelola toko dan gedung termasuk kantor kantor perbankan telah menggunakan aksara Hanzi, China. Padahal pengelola ini bukan orang orang yang terlahir di negeri Tiongkok, namun peranakan atau keturunan. Pemandangan jalan Kembang Jepun Surabaya seolah seperti kota Shanghai.
Ini sebuah gambaran betapa mereka menghargai ꦊꦭꦸꦲꦸꦂ leluhur dan jejak sejarah yang mana Jalan Kembang Jepun adalah memang tempat dimana jejak perkampungan Pecinan Surabaya berada. Di Surabaya, Hanzi adalah aksara asing. Lantas bagaimana dengan aksara dalam negerinya?
Aksara dalam negeri itu bisa disebut ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Aksara Nusantara. Salah satunya adalah Aksara Jawa. Di rumah sendiri, Aksara Jawa justru menjadi asing, yang lebih asing daripada aksara asing seperti Hanzi (China). Ironis.
Lantas bagaimana ꦩꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦏꦤ꧀ melestarikan Aksara Jawa sebagai representasi aksara Nusantara agar keberadaannya tidak hilang ditelan zaman dan peradaban baru?
Komunitas aksara Jawa Surabaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, mengalami dalam upaya pelestarian aksara Jawa di Surabaya. Dari fakta lapangan, upaya ini memang tidaklah mudah. Di sana sini memang ditemui banyak kendala dan tantangan. Tapi tidak berarti komunitas ini gagal menggapai harapan.
Secara perlahan tapi pasti, slowly but surely, dengan penuh ꦆꦏ꦳꧀ꦠꦶꦪꦂ ikhtiar dan perjuangan, upaya memperkenalkan dan mengajarkan aksara Jawa dilakukan. Kehadirannya masih minoritas.
Sifat minoritas ini juga dimiliki komunitas ꦏꦺꦴꦩꦸꦤꦶꦠꦱ꧀ komunitas serupa baik di Surabaya maupun di Jawa Timur. Mereka ada dan terus berkegiatan secara lokal untuk tetap menghidupkan keberadaan Aksara Nusantara itu.
Bagaimanapun upaya dari para pemerhati, ꦥꦿꦏ꧀ꦠꦶꦱꦶ praktisi, budayawan jika tidak ada peraturan daerah, yang mendorong pemakaian aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari, itu sia-sia.
Kota Surabaya telah memiliki aturan, yang berupa ꦱꦸꦫꦠ꧀ꦌꦣꦫꦤ꧀ Surat Edaran (SE), yang dibuat Sekretaris Kota atas nama Walikota Surabaya. Surat Edaran, yang diterbitkan pada 19 September 2023 lalu itu, mengenai pemakaian aksara Jawa di lingkungan pemerintahan Kota Surabaya. Hasilnya di seluruh kantor kelurahan, kantor kecamatan, kantor OPD dan bahkan di kantor Balai Kota dan DPRD Kota Surabaya, sudah menggunakan aksara Jawa sebagai signage di masing masing kantornya.
Namun, penggunaan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ aksara Jawa ini belum menyeluruh di tengah tengah masyarakat di kota Surabaya. Kiranya perlu aturan dan peraturan yang lebih kuat lagi seperti Peraturan Daerah (Perda) yang selanjutnya dijabarkan melalui Peraturan Walikota (Perwali).
Surabaya, melalui ꦥꦼꦂꦣꦆꦤꦶꦱꦶꦪꦠꦶꦥ꦳꧀ꦝꦺꦮꦤ꧀ Perda Inisiatif Dewan (DPRD Kota Surabaya), yang disusun oleh A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Surabaya, telah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya, dan prosesnya sudah di tangan Gubernur Jawa Timur.
Kelak melalui ꦥꦼꦂꦣ Perda ini, penggunaan Aksara Jawa bisa diwadahi karena aksara, yang menjadi simbol bahasa, ada dalam salah satu dari 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang Undang Republik Indonesia nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Payung hukum untuk pelestarian kebudayaan, yang salah satunya adalah ꦧꦲꦱ Bahasa, dimana didalamnya ada simbol simbol bahasa (aksara), sudah ada. Sekarang tinggal hadirnya Perda di kota Surabaya.
Jika sekarang di ꦏꦺꦴꦠꦯꦸꦫꦨꦪ kota Surabaya sudah ada Surat Edaran (SE) tentang pemakaian Aksara Jawa, maka kelakdengan hadirnya Perda Pemajuan Kebudayaan, status SE bisa ditingkatkan menjadi Peraturan Walikota (Perwali) sebagai turunan dari Perda Pemajuan Kebudayaan.
Memang, aksara Jawa dipelajari di tingkat SD sampai SMP, tapi tidak ada obligasi bagi ꦱꦼꦏꦺꦴꦭꦃ sekolah untuk mengajarkan dan para siswa untuk terus memakainya. Kecuali karena mereka memang menyukainya.
Agar aksara Jawa ini bisa ꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶ lestari di Surabaya, maka kehadiran Perda yang mengatur aksara Jawa perlu segera ada. Melalui Perda, secara formal dan masif, pemakaian Aksara Jawa bisa diterapkan. Maka tidak hanya menggunakan aksara Jawa untuk signage di kantor kantor pemerintah saja, Perda bisa mewajibkan toko-toko untuk memakai nama toko beraksara Jawa. Perda juga bisa mewajibkan penggunaan aksara Jawa pada laman laman (website) kantor pemerintah, kop surat pada setiap instansi dan media massa.
Jika ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦗꦼꦥꦸꦤ꧀ Kembang Jepun saja bisa secara serentak menggunakan Aksara Hanzi China, Jepang bisa menggunakan aksara Kanji dan China bisa menggunakan aksaranya, mengapa Surabaya tidak bisa? Kami menunggu hadirnya Perda Pemajuan Kebudayaan. (PAR/nng)