Rajapatni.com: Surabaya (16/9/24) – Berawal dari Minggu pagi (15/9/24), secangkir kopi mulai menghangatkan tubuh, yang masih berkerudung sarung. Kepulan asap ꦫꦺꦴꦏꦺꦴꦏ꧀ꦏꦿꦺꦠꦺꦏ꧀ rokok kretek mengepul diterpa sinar mentari pagi dan membiasakan prisma menghias warung di sudut jalan di tepian sawah di Surabaya Barat.
Mulut pun berkomat kamit mengeja ꦄꦏ꧀ꦱꦫ aksara mengiringi jemari menekan papan tombol HP. Textingnya tertulis: “Mas, hari ini mumpung kosong, opo ra kepingin neng Trowulan, ndeleng hasil ekskavasi”. Textingku ke seorang sahabat penggerak budaya. A Hermas Thony namanya.
Tempat ekskavasi itu adalah di ꦏ꧀ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦺꦫꦺꦗ Klinterejo, Sooko, Kabupaten Trowulan dimana beberapa waktu lalu dilakukan ekskavasi lanjutan pada Situs tersebut. Di desa ini, sebelumnya sudah ada Candi Bhre Kahuripan yang dibangun pada zaman Kerajaan Majapahit ketika Raja Hayam Wuruk memerintah 1350-1389 masehi. Candi itu dibangun untuk mendarmakan Ibu Hayam Wuruk, Tribhuwana Tunggadewi.
Sementara temuan terkini adalah adanya struktur pagar tembok berbahan batu bata merah, yang luasnya mencapai 22.143 meter persegi dengan perhitungan panjang 183 meter dan lebar 121 meter. Pada bagian pagar tembok itu terdapat pondasi gapura besar menuju halaman utama Situs Bhre ꦧ꧀ꦲꦿꦼꦏꦲꦸꦫꦶꦥꦤ꧀ Kahuripan.
Sore itu, Minggu (15/9/24) saya bersama A. Hermas Thony serta Novita, yang tergabung dalam komunitas aksara Jawa ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, berangkat menuju Desa Klinterejo, Sooko Kabupaten Mojokerto. Ini adalah sebuah perjalanan budaya untuk lebih mengenal sosok Tribhuwana Tunggadewi.
Tribhuwana Tunggadewi sendiri merupakan anak perempuan pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yang beristri Gayatri Rajapatni. ꦠꦿꦶꦧ꧀ꦲꦸꦮꦤꦠꦸꦁꦒꦣꦺꦮꦶ Tribhuwana Tunggadewi adalah raja Majapahit kedua setelah Raden Wijaya.
Selanjutnya, Tribhuwana Tunggadewi menurunkan ꦲꦪꦩ꧀ꦮꦸꦫꦸꦏ꧀ Hayam Wuruk sebagai suksesor kerajaan Majapahit. Ringkasnya Rajapatni adalah penurun raja raja besar Kerajaan Majapahit. Mengenal Tribhuwana Tunggadewi adalah cara mengenal Rajapatni, permaisuri Raja Pertama Majapahit, Raden Wijaya.
Tribhuwana Tunggadewi, yang bergelar maharaja, dalam menjalankan kemaharajaan Majapahit sebenarnya masih dalam bimbingan sang ibunda ꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Rajapatni.
Kunjungan Penuh Tantangan
Kunjungan ke situs Bhre Kahuripan pada Minggu sore itu adalah wujud bisikan untuk datang dan melihat kebesaran kerajaan ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Majapahit. Disana ada keinginan kuat yang disertai dengan tantangan yang lebih kuat pula. Siapa tak kuat, maka gagalah kunjungan itu.
Tantangan itu berwujud kejadian teknis dengan kendaraan yang di luar dugaan. Gangguannya adalah Radiator bocor dan nggebros. Terpaksa mencari bengkel radiator untuk tindakan reparasi. Tidak gampang. Hari sudah sore dan di hari libur. Atas keinginan yang kuat, akhirnya sampaikan ke rumah seorang tukang radiator di ꦏꦿꦶꦪꦤ꧀ Krian. Rumahnya masuk ke dalam perkampungan.
Reparasi selesai selepas Maghrib. Langit sudah gelap. Maka muncul pertanyaan apakah akan tetap melanjutkan ke Klinterejo. Tidak ragu, jawabannya serempak mengatakan “terus”.
Hari sudah gelap dan tim ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni melanjutkan perjalanan menuju lokasi. Tantangan belum selesai. Masih ada ujian. Ketika berjalan menuju ke Klinterejo, ternyata salah jalan. Perjalanan menuntun ke Mojosari. Waktu tempuh semakan panjang dan waktu semakin malam.
Dari Mojosari turun menuju ke Klinterejo, Sooko, Mojokerto. Dalam perjalanan ada kejadian lagi. Sepasang kacamata yang sangat dibutuhkan hilang. Entah tertinggal di bengkel radiator atau terjatuh di suatu tempat.
Sesampai di pasar Sooko, terpaksa harus mencari kacamata baca. Di sebuah toko optik, kami berhenti. Hanya ada satu kacamata baca dengan ukuran yang sesuai. Selebihnya berukuran besar. Yaitu ukuran 4 hingga 5 plus ke atas. Ukuran yang sesuai adalah 1.50. Mestinya 1,25. Tidak apalah. Kacamata itu terpaksa dibeli.
Panduan google map menuju lokasi membingungkan. Setiap jalan kecil masuk panduan. Padahal tim ꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Rajapatni menggunakan mobil, bukan sepeda motor. Tiga HP pun menyala mengikuti rute atas petunjuk google map. Jalannya keluar masuk kampung. Setelah beberapa upaya, akhirnya sampailah di lokasi. Turun mobil harus berjalan kaki.
Turun mobil, mendatangi sebuah warung. Di tengah kegelapan sawa. Di sebuah warung itu ada sekumpulan orang nongkrong dan ngopi. Kami jalan menghampiri mereka dan bertanya.
“Nyuwun Sewu, nderek tanglet. Situs Klinterejo niku pundi?” (Permisi, numpang tanya. Dimanakah Situs Klinterejo itu dimana?). Tanya ku ke mereka.
“Oh pas, Niki juru kuncine. Situsnya di belakang sana. Juga sebelah sana”, jelas seseorang yang duduk di sebelah juru kunci yang bernama ꦤꦸꦂꦱꦭꦶꦩ꧀ Nursalim.
Jelajah Malam
Juru pelihara (kunci) nursalim dengan sebuah senter menemani tim ꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Rajapatni.
“Sebentar saya ambil senter dulu”, kata Nursalim sebelum memulai jelajah malam di tengah kegelapan.
Lokasi pertama yang dikunjungi adalah situs Bintang ꦩꦤ꧀ꦝꦭ Mandala Majapahit. Temuan arkeologi ini tergolong spektakuler. Struktur berbentuk bintang segi delapan ini berukuran 17×17 meter.
Menurut Nursalim, bangunan dengan struktur berbentuk Bintang ꦩꦤ꧀ꦝꦭ Mandala Majapahit ini sebagai perlambang bangunan atau tempat untuk kegiatan religius.
Sudut sudut yang berjumlah delapan ini menunjukkan jumlah mata angin. Dalam mitologi agama Hindu. Setiap penjuru mata angin dianggap menjadi ꦱꦶꦁꦒꦱꦤ Singgasana Dewa. Dewa mata angin seperti astadikpalaka.
Dari situs ꦧꦶꦤ꧀ꦠꦁꦩꦤ꧀ꦝꦭ Bintang Mandala, Nursalim mengajak melihat kotak kotak ekskavasi di tanah lapang. Ada beberapa kota ekskavasi. Diantaranya yang sangat menakjubkan adalah kotak ekskavasi panjang di di dalamnya ada struktur dasar pagar tembok yang terbuat dari batu bata merah.
Menurut Nursalim, panjang tembok ini mencapai panjang 180 meter dan lebar 120 an meter. Di sana terdapat pondasi ꦒꦥꦸꦫ gapura yang sangat besar.
“Kalau kita perhatikan tembok ini roboh ke arah keluar. Ini bisa kita perhatikan adanya ꦱ꧀ꦠꦿꦸꦏ꧀ꦠꦸꦂ struktur batu bata tembok yang ditemukan memanjang sepanjang dasar tembok”, pungkas Nursalim. (PAR/nng)