Rajapatni.com: Surabaya (23/4/24) – Aksara Jawa seolah ꦩꦶꦤꦺꦴꦫꦶꦠꦱ꧀ minoritas. Memang tidak salah. Karena jumlahnya kecil. Lebih tepatnya, dikatakan langka. Sehingga keberadaannya dianggap tidak populer. Akibatnya, siapa yang kemudian belajar Aksara Jawa, sering ditanya, entah serius atau bercanda, “kalau sudah bisa lalu mau apa? “.
Demikian kalimat, yang tidak sekali dua kali telah saya dengar. Sekali lagi, saya tidak bisa membedakan itu pertanyaan serius atau ꦧꦼꦂꦕꦤ꧀ꦝ bercanda.
Namun, pertanyaan ini menggelitik saya karena Aksara Jawa bukan sembarang Aksara. Aksara Jawa adalah ꦗꦠꦶꦣꦶꦫꦶꦧꦁꦱ jati diri bangsa, yang keadaannya memprihatinkan dan menghadapi kepunahan karena tergeser oleh Aksara asing: Latin.
Mayoritas generasi sekarang tidak bisa menulis dan membaca Aksara Jawa. Menurut saya, Aksara Jawa semakin penting karena ancaman ꦏꦼꦥꦸꦤꦲꦤ꧀ kepunahan itu. Penting untuk dipertahankan dan dilestarikan. Jika punah, berarti hilanglah jati diri bangsa. Lambat laun, bangsa ini tidak lagi Indonesia. Entah akan menjadi dan berubah menjadi negara apa.
Jika bahaya dan ꦄꦚ꧀ꦕꦩꦤ꧀ ancaman itu tidak diantisipasi dan dihadapi, maka bukan tidak mungkin bangsa ini akan punah dan hilang. Apakah hal ini bisa terjadi?
Saya tidak mau menjawab. Saya hanya mau mengatakan bahwa negara yang pernah ada di atas bumi tanah dan air dimana kita berpijak ꦱꦼꦏꦫꦁ sekarang, dulunya adalah negara yang namanya bukan Indonesia.
Di atas bumi yang sekarang bernama Indonesia, pernah bernama ꦲꦶꦤ꧀ꦝꦶꦪꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Hindia Belanda (350 tahun). Di bumi yang sama pernah bernama Majapahit (200 tahun) dan seterusnya jika kita flashback akan terungkap nama nama pemerintahan sebelum Majapahit.
Sekarang Indonesia masih berumur 79 tahun per tahun 2024. Belum genap 100 tahun. Dalam perjalanannya sejak 1945, negeri ini sudah kehilangan Timor Timur dan pulau ꦱꦶꦥꦣꦤ꧀ Sipadan serta Ligitan. Selain itu sudah ada bahasa bahasa daerah yang mati.
Hal yang serupa juga dihadapi oleh Aksaranya, Aksara ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara. Hingga sekarang masih ada 12 Aksara Nusantara. Padahal bahasa daerahnya jumlahnya ratusan. Ke-12 aksara lokal tersebut meliputi aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis/Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci/Rencong.
Setiap Aksara dan bahkan bahasa itu berbeda beda. Aksara dan bahasa lokal itu membentuk ꦕꦼꦫꦶꦠꦫꦏꦾꦠ꧀ cerita rakyat. Kekayaan cerita rakyat itu akhirnya membentuk kebhinekaan bangsa Indonesia. Jika salah satu bahasa dan Aksara itu hilang, nasibnya akan sama seperti hilangnya Timor Timur, Sipadan dan Ligitan.
Kalau Sudah Tau, Lalu Mau Apa?
Dari pengalaman, dimana dulu saya pernah di screening di kantor ꦣꦼꦥꦂꦠꦼꦩꦺꦤ꧀ꦭꦸꦮꦂꦤꦼꦒꦼꦫꦶ Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, ketika harus membawahi mahasiswa dalam program Pertukaran Indonesia Luar Negeri. Salah satu mahasiswa dalam kelompok yang saya bawa berasal dari Timor Timur. Pihak Pemerintah Indonesia tidak ingin kejadian pada dua tahun sebelumnya (1991) terulang. Ada mahasiswa dari wilayah itu yang tidak pulang ke tanah air karena terpengaruh dari kelompok ekstrim yang bermukim di negara pertukaran.
Pada tahun berikutnya (1992) tidak ada kesempatan bagi mahasiswa dari daerah itu. Pada tahun saya(1993) baru ada lagi kesempatan. Karenanya saya dan mahasiswa dari daerah itu diberi penataran di Deplu RI. Saya mendapat tugas ꦩꦼꦔꦮꦱꦶ mengawasi dengan membina mahasiswa tersebut agar tidak terpengaruh oleh orang lain.
Bagi saya, menjaga mahasiswa ini penting bagaikan menjaga Aksara Jawa. Kedua keduanya agar tidak hilang. Maka, bisa beraksara Jawa (menulis dan membaca) pada hakekatnya menjaga ꦆꦣꦺꦤ꧀ꦠꦶꦠꦱ꧀ identitas bangsa.
Lalu apa manfaatnya bisa beraksara Jawa? Berikut manfaat dari bisa Aksara Jawa. Poin poin ini saya dikumpulkan ꦧꦼꦂꦣꦱꦂꦏꦤ꧀ berdasarkan pengalaman pribadi dan berbagai sumber. Bisa beraksara Jawa berarti:
- ꦩꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦏꦤ꧀ꦮꦫꦶꦱꦤ꧀ꦧꦸꦣꦪ Melestarikan Warisan Budaya: Salah satu manfaat utama dari pemahaman tentang aksara Jawa adalah kemampuan untuk melestarikan warisan budaya yang kaya. Aksara ini telah digunakan selama berabad-abad untuk mendokumentasikan pengetahuan, kepercayaan, dan tradisi masyarakat Jawa. Dengan memahami aksara Jawa, kita ikut serta dalam menjaga dan melestarikan bagian penting dari identitas budaya Indonesia.
- ꦩꦼꦔꦏ꧀ꦱꦺꦱ꧀ꦤꦱ꧀ꦏꦃꦏ꧀ꦭꦱꦶꦏ꧀ꦝꦤ꧀ꦱꦱ꧀ꦠꦿꦠꦿꦣꦶꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ Mengakses Naskah Klasik dan Sastra Tradisional: Banyak naskah klasik dan sastra tradisional dalam budaya Jawa ditulis dalam aksara Jawa. Mengetahui aksara ini memungkinkan kita untuk mengakses dan memahami naskah-naskah yang berisi nilai-nilai budaya, cerita-cerita klasik, dan ajaran-ajaran spiritual yang telah menginspirasi masyarakat selama berabad-abad.
- ꦩꦼꦩꦲꦩꦶꦱꦶꦩ꧀ꦧꦺꦴꦭ꧀ꦝꦤ꧀ꦥ꦳ꦶꦭꦺꦴꦱꦺꦴꦥ꦳ꦶ꧇ Memahami Simbol dan Filosofi: Aksara Jawa tidak hanya mengandung makna secara literal, tetapi juga memiliki filosofi dan simbolisme yang dalam. Setiap huruf dan bentuk aksara memiliki makna dan konsep yang menggambarkan pandangan dunia dan nilai-nilai budaya Jawa. Dengan memahami simbol ini, kita dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang pandangan hidup masyarakat Jawa.
- ꦩꦼꦁꦲꦺꦴꦂꦩꦠꦶꦠꦿꦣꦶꦱꦶꦣꦤ꧀ꦈꦥꦕꦫꦄꦣꦠ꧀꧇ Menghormati Tradisi dan Upacara Adat: Dalam banyak upacara adat Jawa, aksara Jawa masih digunakan untuk menulis mantras, doa-doa, atau lantunan kata-kata sakral. Mengetahui aksara Jawa memungkinkan kita untuk berpartisipasi dengan penuh penghormatan dalam upacara-upacara tradisional dan menghargai nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
- ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦸꦏꦥꦼꦭꦸꦮꦁꦣꦭꦩ꧀ꦱꦼꦤꦶꦣꦤ꧀ꦏꦿꦺꦪꦠꦶꦮ꦳ꦶꦠꦱ꧀꧇ Membuka Peluang dalam Seni dan Kreativitas: Penggunaan aksara Jawa juga dapat memperkaya dunia seni dan kreativitas. Dengan menggabungkan aksara Jawa dalam seni lukis, seni kaligrafi, desain grafis, dan berbagai bentuk ekspresi kreatif lainnya, kita dapat menciptakan karya-karya yang unik dan memiliki kedalaman budaya yang lebih dalam.
- ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦔꦸꦤ꧀ꦗꦼꦩ꧀ꦧꦠꦤ꧀ꦄꦤ꧀ꦠꦂꦒꦺꦤꦼꦫꦱꦶ꧇ Membangun Jembatan Antar Generasi: Mengajarkan aksara Jawa kepada generasi muda atau mempelajarinya maupun melakukan translate aksara jawa dari generasi tua adalah cara yang baik untuk membangun jembatan antara generasi. Ini juga memberikan kesempatan untuk meneruskan nilai-nilai budaya, tradisi, dan pengetahuan yang telah diteruskan dari generasi ke generasi.
Itulah poin poin sebagai jawaban atas pertanyaan, “Kalau Sudah Bisa, Lalu Mau Apa?”. (nanang)
Foto: Humas Pemda DIY