Rajapatni.com: Surabaya (22/7/24) – Surabaya pernah berbentuk kota yang dibatasi oleh ꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦏ꧀ꦥꦼꦂꦠꦲꦤꦤ꧀ tembok pertahanan (walled town). Itu dulu, di era VOC. Namun tembok itu dibongkar ketika pada masa Hindia Belanda. Pembongkaran itu untuk akses perkembangan kota. Yaitu di era Gubernur Jendral Daendels.
Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818), adalah seorang ꦥꦺꦴꦭꦶꦠꦶꦏꦸꦱ꧀ politikus dan jenderal Belanda, yang menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Prancis.
Di masa Daendels ini, Surabaya menjadi sebuah pangkalan kekuatan militer. Infrastruktur militer diperkuat. Di Utara Surabaya yang bertembok dibangun Artilery Cinstruktie Winkel (ACW) yang memproduksi persenjataan seperti meriam meriam. Di Utara juga dibangun ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦫ penjara Kalisosok. Di barat menjadi perumahan pejabat militer Belanda, KNIL, juga ada kantin militer, pabrik senjata yang kini menjadi kantor BPN. Lalu di selatan ada Barak Militer yang kini menjadi markas Polrestabes Surabaya. Di depan Polrestabes adalah Kantor Militer yang sekarang menjadi kafe, Nude Cafe.
Sementara ꦱꦼꦂꦣꦝꦸ serdadu KNIL nya, sebagian adalah bangsa Jawa dan Ambon, bermukim di sekitaran infratruktur militer Surabaya. Tepatnya di kawasan yang dikenal sekarang sebagai Krembangan.
Dalam ꦠꦸꦭꦶꦱꦤ꧀ tulisan Petrik Matanasi yang dimuat tirto.id tertanggal 17 Mei 2021 mengangkat “Serdadu KNIL Ambon: Solidaritas, Keberanian, dan Korban Politik”. Di salah satu anglenya, Petrik menggambarkan rasa solidaritas dan keberanian anggota KNIL Ambon. Si anggota KNIL asal Ambon itu adalah Lopias.
Suatu hari Lopias melihat perkelahian yang tidak seimbang. Seorang Belanda dewasa melawan seorang remaja ꦧꦸꦩꦶꦥꦸꦠꦿ Bumiputra. Solidaritasnya timbul. Tanpa pikir terlalu lama, Lopias maju dan membantu si remaja. Tinjunya sempat menghantam si Belanda sebelum perkelahian itu dibubarkan. Setelah peristiwa itu, pangkat Lopias yang saat itu kopral di KNIL, diturunkan.
Kisah ini dituturkan dalam beberapa biografi Jenderal ꦄꦃꦩꦣ꧀ꦪꦤꦶ Ahmad Yani, salah satunya “Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan” (1981:43). Ya, si remaja Bumiputra itu adalah Ahmad Yani. Setelah menjadi petinggi Angkatan Darat, Ahmad Yani bertemu lagi dengan Lopias yang sudah masuk TNI.
Ambon kini hanya nama kota di gugusan kepulauan yang disebut ꦩꦭꦸꦏꦸ Maluku. Namun dulu, Ambon adalah nama sebuah keresidenan. Tak heran jika di masa lalu, hampir semua orang dari Maluku disebut sebagai orang Ambon.
Seperti suku-suku lainnya, mereka juga dikerahkan oleh Belanda sebagai alat perang. Satu satu prajurit asal ꦏꦫꦺꦱꦶꦣꦺꦤꦤ꧀ Karesidenan Ambon yang terkenal adalah Kapitan Jonker, yang akhir hidupnya dianggap akan memberontak kepada Belanda. Belakangan, sosok ini sangat dihormati di kalangan personel KNIL asal Ambon.
Jonker, seperti disebut I.O. Nanulaitta dalam Timbulnja Militerisme Ambon: Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial–Ekonomis (1966:155), “adalah ꦱ꧀ꦥꦶꦫꦶꦠꦸꦮꦭ꧀ spiritual hero mereka. Dia mendjadi contoh bagi mereka dan dia adalah impian keberanian dan kesetiaan seorang militer Ambon. Kapitan itu pelindung mereka dalam marabahaya.”
Sebagian orang Ambon di KNIL begitu memercayai bahwa ꦄꦂꦮꦃ arwah Kapitan Jonker bersama mereka dan kerap membawakan kemenangan.
Kemiliteran Belanda di Surabaya juga tidak lepas dari kehadiran warga Ambon yang kala itu kebanyakan bekerja sebagai militer KNIL. Kamp militer Belanda di Surabaya berada di sekitar Kota Bertembok (walled town) Surabaya yang secara administratif berada di wilayah ꦏꦿꦼꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ Krembangan. Nama Krembangan sendiri sudah ada sejak masa Kolonial.
Jika sekarang banyak warga dari etnis Ambon di ꦏꦿꦼꦩ꧀ꦧꦔꦤ꧀ Krembangan, tepatnya yang berada di kamp kamp militer Belanda seperti di jalan yang bernama rempah rempah, maka tidaklah heran. Di jalan Mrico, Jinten, ꦗꦒꦫꦒ Jagaraga, Kunir, Adas dan Kapulaga banyak didiami warga Surabaya asal Ambon dan Maluku. Nama nama seperti Eleyanoor Pelupessy, Tini Coren, Lucas Tahitu, Linda Tahitu dan Leonard Ajawaila adalah bagian dari warna Ambon di Surabaya.
Jadi, di Krembangan tidak hanya meninggalkan jejak kemiliteran Belanda di Surabaya, tetapi juga warga Surabaya asal Ambon dan Maluku yang dulunya merupakan bagian dari kemiliteran ꦠꦼꦤ꧀ꦠꦫ tentara KNIL yang bermukim di Surabaya. Hikayat Kapiten Jonker menjadi gambaran keberadaan orang-orang Ambon di KNIL yang tersebar di beberapa penjuru Hindia Belanda, termasuk di Surabaya. (Nanang)