Rajapatni.com: Surabaya (1/5/24) – DISKUSI kebudayaan menarik mengenai sosok Sunan Ampel dibahas antara Komunitas budaya ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni dan Takmir Masjid Sunan Ampel. Mewakili Puri Aksara Rajapatni adalah Ketua Nanang Purwono. Sedangkan mewakili Masjid Sunan Ampel adalah Ustadz Muhammad Zainal AbidinAbidin atau Gus Bidin.
Diskusi gayeng itu bertempat di kantor ꦠꦏ꧀ꦩꦶꦂꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ Takmir Masjid Sunan Ampel pada Rabu siang (1/5/24). Pembicaraan ini bermula dari kaitannya (ketuaan) Sunan Ampel dan peringatan Hari Jadi Kota Surabaya, yang diperingati pada bulan Mei. Pada bulan Mei 2024, Surabaya menurut pemahaman umum berusia 731 tahun.
Dalam diskusi itu, Sunan Ampel disinggung sebagai sosok pemimpin Surabaya (bupati), sebagaimana diulas olèh (alm) Muhammad Khotib dalam bukunya “Ras Bupati, Bangsawan Jawa” (2022). Sebagai sosok bupati Surabaya yang kala itu, masih beragam nama, yang salah satunya bernama ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga, Sunan Ampel sudah mewarnai dalam peradaban sistim pemerintahan.
Sunan Ampel dikenal sebagai sosok Kepala Daerah. Ia memimpin kawasan yang dinamakan ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta, sebuah tanah perdikan yang diberi olèh Raja Majapahit. Di daerah itu, Sunan Ampel, yang awalnya dikenal dengan nama Raden Rahmad, hadir menata praja yang warganya adalah pengikut dari Trowulan dan masyarakat setempat.
Selain sebagai seorang Nata pemimpin (Umarah), Raden Rahmad juga sangat terkenal sebagai seorang ulama, penyebar agama Islam di Ampel Denta. Karenanya ia kemudian disebut Sunan di ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta dan terkenal lah dengan nama Sunan Ampel.
Sosok Sunan Ampel, yang selanjutnya muncul dalam ꦣꦶꦱ꧀ꦏꦸꦱꦶ diskusi itu, adalah sebagai sosok saudagar dengan komoditas rempah rempah. Profesor Suparto Wijoyo, dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga, mengatakan bahwa terdapat relief pada salah satu dari lima gapura di komplek Makam dan Masjid Sunan Ampel. Relief itu bergambar daun dan bunga cengkeh. Menurutnya relief itu bentuk legitimasi dari wilayah Sunan Ampel atas produk dagang atau komoditas Nusantara yang berupa cengkeh atau rempah rempah.
“Kalau sekarang, itu bagaikan stempel sebagai ꦭꦺꦒꦭꦶꦱꦱꦶ legalisasi hak cipta yang dikeluarkan olèh Kemenkumham RI”, jelas Suparto Wijoyo yang ditemui di perkebunan Cengkeh di Wonosalam Jombang pada 2022 lalu.
Di era ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Majapahit, Surabaya adalah pintu gerbang perdagangan yang menghubungkan Majapahit dan Nusantara dan bahkan mancanegara. Dari perbincangan antara Puri Aksara Rajapatni dan Masjid Sunan Ampel, diketahui sosok dan peran Sunan Ampel dalam hubungan Habblumninannas (horizontal) dan hablumminnallah (vertikal).
Ketiga peran Sunan Ampel itu dapat disimak dari peninggalannya yang masih ada hingga sekarang. Sebagai ulama misalnya, meninggalkan Masjid, yang menjadi ilustrasi hablumminnallah. Sebagai Umarah, meninggalkan alat komunikasi berupa aksara Jawa sebagai gambaran alat komunikasi tertulis yang menghubungkan antar manusia, hablumminnanas dan sebagai saudagar meninggalkan relief bergambar bunga ꦕꦼꦁꦏꦺꦃ cengkeh dan bunga lawang sebagai gambaran komoditas dagang.
Kawasan Ampel, yang sudah menjadi beragam nama seperti ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦱꦸꦕꦶ Ampel Suci, Ampel Gading, Ampel Kembang, Ampel Menara dan masih banya lagi kampung Ampel Ampel lainnya adalah hasil pemekaran wilayah dengan identifikasi masing masing. Ampel Denta berkembang menjadi Ampel Ampel lainnya.
Karena keragaman yang merupakan hasil dari proses peradaban, maka ꦒꦸꦱ꧀ꦧꦶꦣꦶꦤ꧀ Gus Bidin ingin menyusun cerita sejarah Sunan Ampel dan lingkungan perkampungan Ampel agar bisa menjadi buku panduan sejarah Ampel.
“Misalnya mengapa Raden Rahmat bisa datang ke Majapahit, mengapa Raden Rahmad datang ke Ampel Denta, apa ajaran Sunan Ampel yang terkenal dan mengapa pula Sunan Ampel mengajarkan ajaran itu “, terang Gus Bidin dalam diskusi budaya antara ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni dan dirinya mewakili Masjid Ampel.
Pada kesempatan itu Nanang juga menyampaikan penggunaan Aksara Jawa sebagai bentuk aktualisasi aksara Jawa yang punya nilai ꦲꦶꦱ꧀ꦠꦺꦴꦫꦶꦱ꧀ historis di Ampel Denta.
“Penulisan aksara Jawa bisa ditambahkan pada papan ꦥꦼꦔꦸꦩꦸꦩꦤ꧀ pengumuman yang sudah berisi bahasa Inggris, Jerman, Belanda, aksara China dan Jepang”, kata Nanang.
Selain itu Aksara Jawa bisa untuk menamai gapura gapura yang ada. Misalnya pada ꦒꦥꦸꦫꦩꦸꦁꦒꦃ Gapura Munggah. Selain beraksara Latin, juga Aksara Jawa. (Tim PAR).*