Rajapatni.com: Surabaya (8/5/24) – PENULISAN kata “Rajapatni” (sebuah komunitas budaya di Surabaya) dan “wani” (semboyan warga Surabaya) dalam Aksara Jawa menjadi pintu gerbang komunikasi yang saling menguntungkan (mutual communication) antara ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni dan Akademisi dari Jawaharlal Nehru University (JNU) India.

Awalnya, Ketua Puri Aksara Rajapatni, ꦤꦤꦁꦥꦸꦂꦮꦤ Nanang Purwono, mendapat kabar dari Manoj Bhat, seorang warga India asli yang mengelola sekolah India di Surabaya. Manoj menginformasikan bahwa ada seorang profesor, yang membidangi Indonesia Study dari India, berada di Surabaya.
Selama ini Nanang memang sudah menjalin komunikasi dengan Manoj dan bertukar informaai tentang Surabaya dan India. Bahkan dalam sebuah acara pertemuan melalui jaringan zoom dengan Duta Besar India untuk Indonesia, Nanang atas nama ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni menyampampaikan mengenai kebudayaan Jawa dan Aksara Jawa.
Jawa dan India memang punya riwayat bersama terkait dengan Aksara. Aksara Jawa tidak terlepas dari Aksara yang digunakan di India. Yaitu ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦣꦺꦮꦤꦒꦫꦶ Aksara Dewanagari. Berangkat dari Aksara inilah, Puri Aksara Rajapatni menjajaki adanya potensi saling tukar informasi mengenai keaksaraan.

ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni mendapat kabar bahwa ada seorang akademisi Jawaharlal Nehru University (JNU) India, yang ahli Islamic Indonesian Study berada di Surabaya. Langsung saja, Nanang, yang hari itu (Selasa, 7 Mei 2024) berada di Trowulan Mojokerto) langsung balik ke Surabaya.
Akhirnya Nanang bisa bertemu akademisi JNU pada petang hingga malam hari. Dia adalah Prof. ꦒꦻꦴꦠꦩ꧀ꦏꦸꦩꦂ Gautam Kumar JHA. Gautam Kumar JHA merupakan professor, JNU, dan memiliki ketertarikan pada bidang international political Islam, Indonesian Islam and Pan-Islamic Ethos, Indonesian Art and Culture, Islam in Thailand and Southeast Asia, Sufisim in Indonesia, dan Comparative Foreign Policy.
Beberapa karya ilmiah berupa buku dan artikel telah dihasilkan berkaitan dengan bidang yang selama ini ditekuni.
Ketika bertemu dengan Ketua Puri Aksara Rajapatni, Nanang Purwono, yang malam itu mengenakan kaus hitam dengan tulisan Aksara Jawa yang berbunyi “WANI” (ꦮꦤꦶ), Prof Gautam langsung bereaksi spontan.

“Saya sepertinya kenal dengan Aksara itu”, kata Gautam spontan.
Lantas diskusi mengarah ke perihal Aksara. Manoj Bhat menjelaskan kepada Gautam Kumar tentang Rajapatni dan upaya Rajapatni dalam ꦥꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦪꦤ꧀ pelestarian Aksara Jawa di Surabaya.
Pada kesempatan itu, Nanang juga menunjukkan sebuah majalah beraksara Jawa, ꦄꦗꦶꦱꦏ Aji Saka, yang diterbitkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT). Setelah mengamati majalah itu dan melihat penulisan kata WANI pada kaus yang dikenakan Nanang, lantas Gautam menuliskan kata wani dalam Aksara Dewanagari.
Yang menarik ketika Gautam melihat penulisan kata wani dan Rajapatni dengan akhiran “i”, ia dapat mengidentifikasi adanya suara “i” panjang dalam pengucapannya. Karenanya dia menulis dalam Aksara Dewanagari yang pada Aksara terakhir ada diakritik suara “i” panjang.

Dalam diskusi budaya itu, dikenali masih adanya kesamaan antara Aksara Jawa dan Aksara Dewanagari India. Secara historis, Akar paling tua dari aksara Jawa adalah ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦧꦿꦃꦩꦶ aksara Brahmi di India, yang kemudian berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi, yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia, yang salah satunya adalah aksara Jawa (Wikipedia).
Kata “Wani” dalam Aksara Jawa menjadi pembuka dan sekaligus menjadi ꦏꦼꦧꦼꦂꦭꦚ꧀ꦗꦸꦠꦤ꧀ keberlanjutan tripartit komunikasi antara Puri Aksara Rajapatni, Prof. Gautam Kumar Jha dan Manoj Bhat, perwakilan warga India di Surabaya. (nanang PAR) *