Rajapatni.com: Surabaya (30/9/24) – Partisipasi masyarakat akan pelestarian aksara Jawa sangat diharapkan. Hari ini, Senin (30/9/24), Redaksi rajapatni.com menerima kiriman foto foto dari mereka yang peduli aksara Jawa. Beberapa foto menggambarkan komplek pekuburan di area pemakaman kuno Bungkul Surabaya dan satu lagi foto dari kantor Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur di Trowulan Kabupaten Trowulan.
Kepala BPK Wilayah XI, Endah Budi Heryani, dalam pesan singkatnya menuliskan “Janji saya sudah terpenuhi ya mas Nanang”. Endah sejak tahun lalu, 2023, memang sudah menjanjikan untuk pemasangan signage beraksara Jawa pada kantor kerjanya.
Untuk kantor Pusat Informasi Majapahit (PIM) atau publik mengenalnya Museum Majapahit Trowulan sudah terpasang papan nama yang menggunakan Aksara Jawa dan Kawi sejak tahun lalu (2023). Untuk melengkapinya, di tahun 2024 ini, pihak BPW XI memasang di kantor BPW XI dengan tulisan “Balai Pelestarian Kebudayaan.XI”.
Kantor kantor kepurbakalaan memang sepatutnya menggunakan aksara Kawi atau aksara Jawa karena literasi aksara itu yang pada zamannya digunakan oleh masyarakat. Sebagai lembaga edukasi, Puri Aksara Rajapatni, juga mendukung dan mendorong BPK XI untuk pemasangan dan penulisan Aksara Jawa di tempat tempat dan situs arkeologi yang tersebar di wilayah BPK XI.
“Penamaan nama nama candi dengan Aksara Jawa, yang sering dikunjungi masyarakat, sangatlah cocok sebagai media edukasi kepada pengunjung. Dengan seringnya pengunjung melihat nama nama dalam aksara Jawa atau Kawi, mereka akan belajar secara natural”, demikian kata A Hermas Thony, Pembina Puri Aksara Rajapatni, ketika berkunjung ke Candi Sumberawan, Singosari beberapa waktu yang lalu.
Sementara itu Ita Surojoyo (Pendiri dan Pengawas Rajapatni) juga apresiasi atas pemasangan pemasangan signage di kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, meski ditemui ada tata tulis yang kurang pas.
“Tertulis Balahi bukan Balai. Gpp kayaknya emang harus salah biar kita ada kerjaan 😂😂😂 gitu ya Mas Wakil @~Ginanjar ꦮꦱꦶꦠꦤꦶꦁꦄꦠꦶ”, tanggap Ita sambil berkonsultasi ke Wakil Rajapatni, yang seorang guru Bahasa Jawa dan Aksara Jawa di SMKN 7 Surabaya.
“Masih pake metode sebelum kenal sandhangan diftong seperti ai, au dll”, demikian respon Ginanjar yang dijawab melalui pesan WA.
Penggunaan Aksara di ranah publik adalah cara berani dalam penulisan aksara Jawa agar mata publik semakin terbiasa melihat aksara Jawa. Menurut seorang filolog dari komunitas aksara Sega Jabung Yogyakarta, Setya Amrih Prasaja, tahapan ini yang dikatakan KEMATA (pembiasaan agar mata melihat).
Selain itu, dari Surabaya, redaksi rajapatni.com juga menerima beberapa foto yang menggambarkan makam Bungkul yang memotret Spanduk besar pada dua makam dengan bertuliskan aksara Jawa. Kedua makam itu: Mas Ngabei Soemodilogo dan R.Ay. Oemikaltoem, adalah makam keluarga yang oleh ahli warisnya diberi spanduk beraksara Jawa, yang dipasang pada tembok. Spanduk ini berukuran dua meter mal 1 meter. Letak kedua makam ini berada di dalam area gapura di area makam Sunan Bungkul.
Salah satu ahli warisnya, yang memasang spanduk beraksara Jawa ini, adalah Enny Wisnu Wardhani, yang juga dikenal dari trah keluarga Tjoa dan juga keponakan Harjatie, istri ke enam Presiden Soekarno. (PAR/nng)