Hari Natal segera datang. Tanggal 25 Desember adalah hari yang dinanti. Umat Kristiani bersuka ria sambil menikmati malam yang kudus nanti.
Diantara sekian umat Kristiani, terdapat umat yang khusus berada di Jawa Timur. Tidak ada di tempat lain. Umat Kristiani ini sangat melekat dengan teritorial Jawa Timur. Yaitu umat Kristen Gereja Kristen Jawi Wetan, Oost-Javaansche Kerk.
Secara historis, kehadiran Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua tokoh yang bernama Johanes Emde dan C.L.Coolen. Kedua tokoh ini tidak memiliki latar belakang khusus teologi. Jadi keduanya adalah orang kristen awam yang tergerak untuk memberitakan injil Kristus kepada orang-orang yang dijumpainya. Di samping itu, kedua orang ini sepertinya mewakili dua corak pandangan teologis tentang iman Kristen.
C.L Coolen begitu besar perhatiannya pada masalah-masalah budaya setempat. Sedangkan Johanes Emde amat menentang budaya atau tradisi setempat. Sehingga pada akhirnya kedua corak teologi yang ditebarkan oleh kedua orang tersebut sedikit banyak mewarnai teologi GKJW.
Emde mengatakan bahwa menjadi orang kristen berarti melepas sarung atau kain kebaya, dalam arti harus mengikuti pola budaya barat (Belanda),
Sedangkan C.L Coolen mengatakan bahwa menjadi kristen tidak perlu melepaskan tradisi dan budaya yang selama ini mewarnai kehidupannya. Jadi setelah dibaptis, mereka tetap boleh memakai sarung, kain kebaya, nonton wayang, dan lain sebagainya.
Yang paling penting adalah perubahan dalam hal menjalani dan menghayati moralitas baru yang bersumber dari kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Sehingga iman bukan hanya persoalan kulit, melainkan persoalan pergumulan dan perubahan hati yang amat mendasar.
Baptisan Kudus pertama terjadi tanggal 12 Desember 1843 di Surabaya. Sejak itu, jumlah mereka terus bertambah dan terbentuklah persekutuan-persekutuan umat yang kemudian menyatukan diri dalam satu persekutuan gerejawi pada tanggal 11 Desember 1931 dengan nama ꦥ ꦱ ꦩꦸ ꦮ ꦤ꧀ꦥ ꦱ ꦩꦸ ꦮ ꦤ꧀ꦏꦿꦶ ꦱ꧀ꦠꦼ ꦤ꧀ꦆꦁ ꦠ ꦤꦃ ꦣ꧀ꦗ ꦮꦶ ꦮꦺ ꦠ ꦤ꧀ “Pasamuwan-pasamuwan Kristen ing Tanah Djawi Wetan”.
Pengakuan resmi pemerintah dinyatakan dalam Besluit Gubernur Djenderal Hindia Belanda yang menyebut persekutuan gereja ini dengan nama “Oost-Javaansche Kerk”. Nama ini kemudian diubah menjadi “Gereja Kristen Jawi Wetan” dengan S.K. Dirjen Bimas (Kristen) Protestan Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 1979.
Yang menarik dari kelompok di bawah C.L Coolen adalah tidak hanya mempertahankan tradisi fisik dan budaya setempat berupa pakaian dan bentuk budaya lainnya, bahasa dan aksara Jawa pun menjadi bagian yang dipertahankan. Di Gereja Kristen Jawi Wetan Wiyung Surabaya pernah ada pendeta yang menggunakan sarung dan songkok. Secara fisik busana yang dikenakan seperti busana seorang Kiai Islam. Kini sudah meninggal.
Menurut sumber https://id.m.wikipedia.org/wiki/Paulus_Tosari, bahwa sebutan Kiai tidak asing bagi GKJW. Sebutan Kiai memang dipakai oleh penginjil terkenal keturunan orang Madura yang berbasis di Surabaya. Namanya Paulus Tosari, yang lebih terkenal dengan nama Kiai Tosari.
Ia sangat dikenal di kalangan kristiani di Gereja Kristen Jawa Timur atau Gereja Kristen Jawi Wetan. Adanya Gereja Kristen Jawi Wetan saat ini juga tidak lepas dari hasil pekerjaannya. Kiai Tosari juga dikenal oleh banyak orang di luar daerahnya karena ia menulis pelajaran-pelajaran agama dalam bentuk tembang atau puisi Jawa.
Menurut salah satu jemaat gereja GKJW Wiyung Surabaya, Robert Olivandi, bahwa pelaksanaan ibadah dengan menggunakan bahasa Jawa masih berlangsung. Ibahah dalam bahasa Jawa ini dilaksanakan pada minggu ke tiga setiap bulannya. Ia menambahkan bahwa penggunaan bahasa Jawa dan bertulisan Aksara Jawa adalah tradisi dan sejarah gereja yang tidak boleh hilang meski zaman semakin modern dan maju. Di kota Surabaya hingga saat ini masih ada beberapa Gereja Kristen Jawi Wetan dengan Aksara Jawa yang menghiasi bangunan gereja. (nng)