
Rajapatni.com: SURABAYA – Sunan Ampel kondang dengan sebutan wali dan menjadi bagian dari Wali Songo (sembilan Wali). Dalam rute wisata ziarah Wali Songo, Makam Sunan Ampel sering menjadi jujugan yang pertama atau untuk memulai rute Ziarah Wali Songo, yang kemudian berakhir makam Sunan Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat.
Jejak sejarah Sunan Ampel sudah tidak bisa dibantah. Bahkan Sunan Ampel dapat dikata sebagai pemimpin Surabaya pertama sebagaimana ditulis M. Chotib dalam bukunya “Bangsawan Jawa, sebuah Ras Bupati”.
Sunan Ampel atau Raden Rahmat tidak hanya sebagai seorang ulama yang mengajarkan agama (Islam), tapi juga seorang pemimpin masyarakat (umarah) di wilayah Ampel Denta (sekarang menjadi perkampungan dengan identitas nama nama Ampel) serta seorang pedagang.
Jejak ketiga predikat itu sangat jelas terlihat, utamanya sebagai seorang ulama (pemimpin agama). Jejak berikutnya adalah terdapatnya lambang komoditas dagang yang berupa rempah rempah, tepatnya lambang bunga dan daun cengkeh.
Menurut Prof. Suparto Wijoyo, relief bunga dan daun cengkeh di salah satu gapura Sunan Ampel (gapura pengadep) adalah sebagai simbol legitimasi produk komoditas perkebunan Nusantara, yang menjadi andalan Surabaya sebagai pintu gerbang Majapahit. Ini menunjukkan bahwa Surabaya adalah jalur perdagangan rempah rempah.
Perairan laut Surabaya di era Majapahit menjadi salah satu titik pangkalan armada Laksamana Nala, yang tugas utamanya adalah mengawal dan mengamankan jalur transportasi air (laut dan sungai) komoditas rempah rempah dari wilayah timur Nusantara ke Surabaya hingga masuk ke pedalaman melalui jalur sungai. Surabaya menjadi simpul pertemuan antara pedalaman Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai pemimpin masyarakat karena Raden Rahmat membawa serta rombongan masyarakat dari wilayah Trowulan ke Ampel Denta dan masyarakat setempat yang sudah tinggal di Ampel Denta sebelum kedatangan Raden Rahmat. Disana Ia menata wilayah dan memimpin masyarakatnya.
Dalam buku “Bangsawan Jawa, sebuah Ras Bupati”, karangan Muhammad Chotib, Raden Rahmat ditulisnya sebagai Bupati Pertama Surabaya.
Menyimak jejak kekunoan dan sejarah yang tertoreh dan dengan dikuatkan oleh bukti komunikasi tertulis sebagaimana masih dapat dilihat pada blandar kayu di salah satu Gapura di Komplek Sunan Ampel, yang berupa penulisan aksara Jawa, maka bukti bukti nyata yang masih ada layaknya mendapat perlindungan.
Catatan tentang hilangnya salah satu gapura di komplek Sunan Ampel harus menjadi perhatian. Gapura yang hilang ini adalah Gapura berbentuk Bentar yang pernah berdiri di sebelah Timur Masjid Ampel. Gapura Bentar itu berdiri menghadap ke Sungai Pegirian yang kala itu menjadi jalur transportasi air yang ramai.
Dua model gapura: Bentar dan Paduraksa ini adalah kekhasan gapura Majapahit seperti halnya Candi Bentar dan Candi Bajang Ratu di Trowulan
Kemudian sejarah tentang hanyutnya buah delima, yang dikaitkan antara riwayat Sunan (Mbah) Bungkul dan Sunan Ampel adalah melalui sungai Pegirian sebagai anak sungai Kalimas. Ini adalah cerita tentang sayembara yang diadakan oleh Ki Ageng Bungkul, yang siapa saja dapat menemukan buah delima yang dihanyutkan di Sungai Kali Mas akan dinikahkan dengan anaknya
Ramainya Kali Pegirian kala itu juga tergambar dalam sejarah datangnya serdadu VOC, yang bersekongkol dengan Mataram, ketika menyerbu pertahanan Trunojoyo di Surabaya.
Di era kolonial, sungai Pegirian di ruas Nyamplungan adalah pelabuhan sungai yang ramai di Surabaya, selain di Kalimas.
Nah, ketika bangunan Masjid Ampel telah menyandang Bangunan Cagar Budaya dengan nomor: 188.45/251/402.1.104/1996 yang dikeluarkan tahun 2015, maka Gapura gapura yang menjadi penanda zaman di komplek Ampel selayaknya mendapat perlindungan hukum agar aman dari segala bentuk perubahan zaman yang akan membongkarnya.
Ingat, Gapura Bentar telah hilang (1970) karena atas nama perubahan dan pembangunan.
Ingat, bangunan yang secara fisik belum ada lencana Cagar Budaya bisa saja dibongkar atas nama pembangunan seperti gedung RS Kelamin di jalan Indrapura Surabaya.
Terhadap gapura gapura Ampel yang menjadi penanda zaman dan sejarah Surabaya, mana yang lebih cepat antara perlindungan dan pembongkaran atas nama pembangunan? Ini bagai berpacu dengan waktu.

Konten sebagaimana ditulis diatas menjadi bahasan di RRI Pro 4 ada Kamis siang (23/1/25) yang mengudara dari pukul 14.00 – 15.00 dengan tema “Gapura Munggah Sunan Ampel Layak Sebagai Cagar Budaya”. (PAR/nng).