Rajapatni.com: Surabaya (6/5/24) – SEMAKIN terasa dampak dari ꦏꦺꦴꦭꦧꦺꦴꦫꦱꦶꦧꦸꦣꦪ kolaborasi budaya antara Surabaya dan Jepang melalui aksi “Menulis indah Aksara Jawa ala Tradisi Jepang”, yang digelar oleh komunitas budaya ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni dan Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya di Museum Pendidikan Surabaya pada Sabtu, 4 Mei 2024. Respon positif itu terlihat dari like pada artikel, yang dimuat di portal rajapatni.com. Jumlah respon like pada hari pertama sudah mencapai 345 like. Ini diluar dari response berupa pesan Whatsapp (WA) dan telepon langsung yang diterima redaksi rajapatni.com.

Semua bentuk respon itu menunjukkan sikap positif atas aksi kolaborasi kebudayaan, yang digagas oleh ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni yang bekerja sama dengan Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya dalam rangka memaknai peringatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 731.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Seniman ꦏꦭꦶꦒꦿꦥ꦳ꦶꦗꦼꦥꦁ kaligrafi Jepang, Yoko Terakawa, yang berpartisipasi dalam kolaborasi Aksara itu. Pernyataan Yoko itu disampaikan kepada Wakil Konjen Jepang di Surabaya, Ishii Yutaka.

“Kemarin Ibu ꦠꦼꦫꦏꦮ Terakawa bilang kalau ada kesempatan lagi seperti kemarin, dia sangat senang”, kata Ishii Yutaka menirukan pesan Terakawa.
Aksi kolaborasi budaya itu layak menyenangkan semua pihak. Karena pengalaman itu tidak hanya menulis, tapi ada pengalaman belajar kebudayaan. Mitra Jepang belajar Jawa. Dari pihak Jawa (Indonesia) belajar tentang Jepang. Budaya Jepang dan Surabaya, selain Aksara, adalah pakaian tradisional. Dari pihak Jepang menampilkan ꦥꦏꦻꦪꦤ꧀ꦠꦿꦣꦶꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ pakaian tradisional Kimono dan atau Yukata.
Keduanya terlihat sama dari kacamata orang Jawa. Tapi sesungguhnya mereka berbeda.
Kimono lebih formal. Sedangkan Yukata informal. ꦪꦸꦏꦠ Yukata adalah kimono santai, yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.
Mewakili ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, yang mengenakan pakaian tradisional Jepang adalah Ita Surojoyo. Sementara lainnya berpakaian ala Jawa. Sedangkan dari pihak Jepang, yang mengenakan pakaian tradisional Jepang, adalah Mei Ishii dan Yoko Terakawa.

“Kalau yang saya pakai kemarin (Sabtu, 4/5/24) adalah ꦏꦶꦩꦺꦴꦤꦺꦴ Kimono musim panas. Ini bisa dilihat dari motif dan bahan. Biasa lebih formal dibanding Yukata. Tetapi saya kemarin sengaja tidak pakai kaos kaki kimono agar mengimbangi Yukata, yang dikenakan mbak Ita dan Yoko Karagawa”, jelas Mei Ishii.
Mei Ishii melalui pakaian tradisional Jepang mencoba menjelaskan perbedaan antara ꦏꦶꦩꦺꦴꦤꦺꦴ Kimono dan Yukata.
“Yang Mbak ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo dan Ibu Terakawa san pakai itu Yukata. Umumnya dipakai untuk acara santai di musim panas dan acara acara informal”, tambah Mei, panggilan akrab istri wakil konjen Jepang di Surabaya ini.

Masih menurut Mei bahkan Kimono sendiri punya tingkatan. Ada tiga tingkatan Kimono mulai dari Kimono ꦆꦤ꧀ꦥ꦳ꦺꦴꦂꦩꦭ꧀ Informal, Formal dan sangat Formal.
“Yang saya ketemu Pak Nanang di acara Ulang Tahun Kaisar itu Kimono formal dan yang saya pakai kemarin di acara Shodo, bisa bilang Kimono informal”, jelas Mei.
Yukata umumnya lebih bermotif, cerah dan ceria karena mengikuti kondisi alam dan ꦏꦸꦭ꧀ꦠꦸꦂ kultur.
“Pada musim panas di Jepang, orang suka melihat ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦄꦥꦶ kembang api dan bersenang senang. Kondisi ini digambarkan lewat rasa dalam berpakaian. Pilihan bahan pun lebih ringan dan yang gampang menyerap keringat.
Kimono dan Kebaya
Keduanya, Kimono dan ꦏꦼꦧꦪ Kebaya, adalah sama sama pakaian tradisional. Pakaian tradisional khusus bagi perempuan Jawa adalah kebaya. Sebelum menggunakan kebaya, perempuan Jawa biasanya menggunakan semekan atau kemben yang berfungsi untuk menutup bagian dada.

Pada Kimono, pada bagian belakang ada ꦩꦺꦴꦠꦶꦥ꦳꧀ motif. Kimono berwarna hitam, pada lengan kanan kiri dan punggung biasanya ada logo marga keluarga atau logo negara.
“Di bagian bawah motif lukisan atau motif full melingkar biasanya ada makna dan cerita, yang isinya pengharapan. Kalau ꦩꦺꦴꦠꦶꦥ꦳꧀ motif burung bangau berarti harapan umur panjang dan kelanggengan. Jika motif bunga dua gold berarti kebahagiaan atau kesuksesan.
Hampir seperti jarik Jawa. Di Jawa ada makna pengharapan. Makanya ada motif ꦱꦶꦣꦺꦴꦩꦸꦏ꧀ꦠꦶ Sidomukti, Sido luhur, Wahyu Tumurun dan lainnya”, jelas Mei, yang asli Klaten.
Semua ini wujud kolaborasi yang menghasilkan ꦣꦶꦥ꧀ꦭꦺꦴꦩꦱꦶ diplomasi kebudayaan yang akhirnya semakin membantu meningkatkan pemahaman karena perbedaan dan kemiripan. Ini, dari Aksara Jawa menjadi pereratan budaya. (nanang PAR).*