Rajapatni.com: Surabaya (6/5/24) – KURATOR Museum Pendidikan Surabaya, Agus MT, mengatakan ketika mengawali kegiatan ꦱꦶꦤꦻꦴꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Sinau Aksara Jawa pada bulan Januari 2024 bahwa kegiatan belajar Aksara Jawa yang digagas Puri Aksara Rajapatni ini menjadi langkah nyata mendekatkan peserta dan pengunjung dengan artefak yang dikoleksi Museum. Yaitu manuskrip yang beraksara Jawa. Dengan belajar Aksara Jawa, para pembelajar bisa mengenal anatomi dan model lekuk Aksara Jawa.
Pada Sabtu, 4 Mei 2024, para pembelajar Aksara Jawa mewujudkan apa yang menjadi harapan Agus. Setelah kegiatan Aksara Jawa, para pembelajar Aksara Jawa berkesempatan menjelajah ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ museum yang menyimpan sejarah pendidikan. Salah satu tema dalam sajian museum adalah Aksara.
Para pembelajar yang terdiri dari warga Jepang dan Amerika serta warga Surabaya ini mengawali kronologi alur cerita di dalam museum dengan mengunjungi ruang pertama yang memajang sejarah ꦏꦶꦲꦗꦂꦣꦼꦮꦤ꧀ꦠꦫ Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa.
Menyandang nama Museum Pendidikan, museum ini tidak lepas dari sosok pahlawan Nasional Ki Hajar Dewantara. Nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, ꦒꦸꦫꦸꦧꦁꦱ guru bangsa, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. (Wikipedia).
Sementara gedung museum itu sendiri, sebelumnya pernah ditempati oleh sekolahan Taman Siswa. ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦶꦱ꧀ꦮ Taman Siswa memang ada kaitannya dengan Ki Hajar Dewantara. Tamansiswa adalah organisasi yang bergerak di sektor pendidikan di Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Jogja. Di dalam Organisasi Taman Siswa, lahir sekolah sekolah yang salah satunya berdiri di Surabaya.
Setelah dari ruang Ki Hajar Dewantara, kemudian masuk ke ruang pra Aksara dimana ketika itu manusia belum mengenal tulisan untuk ꦧꦼꦂꦏꦺꦴꦩꦸꦤꦶꦏꦱꦶ berkomunikasi. Mereka adalah manusia purba yang primitif. Namun bukan berarti mereka tidak bisa berkomunikasi. Mereka masih memiliki cara cara berkomunikasi. Yaitu lewat media gambar di goa goa.
Ketika memasuki era kerajaan, sebagaimana dinarasikan di Museum Pendidikan, manusia sudah mulai mengenal Aksara dan tulisan. Aksaranya adalah Aksara Jawa dan Pegon. Tentu ada ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦏꦮꦶ Aksara Kawi, tetapi belum ada artefaknya. Di ruang Aksara inilah, para peserta Sinau Aksara Jawa melihat artefak manuscript. Ada yang beraksara Pegon dan berbahasa Jawa. Ada pula beraksara Jawa dan berbahasa Jawa.
Di tempat inilah para pembelajar ini mencoba membaca baca Aksara Jawa pada ꦩꦤꦸꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀ manuskrip yang dipamerkan. Ita Surojoyo membantu mengenali dan membaca baris per baris. Ringkasnya para peserta sinau Aksara Jawa menjadi merasa dekat dengan manuskrip beraksara Jawa.
Di ruangan lainnya terdapat ꦧꦸꦏꦸꦧꦸꦏꦸꦥꦼꦭꦗꦫꦤ꧀ buku buku pelajaran dari masa ke masa. Termasuk di masa pendudukan Jepang. Di dalam etalase di ruang itu terdapat buku buku pelajaran bahasa Jepang. Termasuk ada tinta gambar tulis blok hitam yang digunakan untuk menulis kaligrafi di Jepang. Wujudnya seperti arang padat yang ketika akan digunakan maka dibutuhkan sedikit air dan digosok gosok kan pada permukaan kotak sampai kotak blok hitam luntur menjadi tinta.
Stik blok hitam yang menjadi koleksi museum ini ternyata juga ada model terkini seperti digunakan dalam kegiatan menulis ꦏꦭꦶꦒꦿꦥ꦳ꦶ kaligrafi sebelumnya. Dengan kunjungan museum, tidak hanya bisa melihat manuskrip tapi juga bisa melihat blok hitam yang lama dan yang modern.
Kunjungan museum ini mengakhiri kegiatan kolaborasi budaya Jawa dan Jepang dalam wujud menulis ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮꦄꦭꦗꦼꦥꦁ Aksara Jawa ala Jepang. (nanang PAR). *