Belajar Prejudice, Stereotype dan Toleransi di Kelas Internasional di Hyderabad. India

Rajapatni.com: Surabaya – Berdasarkan pengalaman penulis, negara negara seperti Canada, Amerika, Belanda, Inggris dan Australia pernah menjadi kelas keberagaman kebangsaan untuk studi ilmu yang berbeda beda. Di masing masing kelas di setiap negara itu terdiri dari siswa, mahasiswa dan peserta yang datang dari berbagai negara. Suasananya indah dan mempesona.

Secara fisik masing masing peserta memamerkan busana asal negaranya. Kalau berbicara dalam bahasa Inggris, masing masing memiliki logat yang berbeda.  Apalagi kalau dilihat dari anatomi fisiknya, masing masing memiliki postur tubuh dan warna kulit yang berbeda pula. Belum lagi kalau bisa memahami sifat sifat dan kebiasaan masing masing orangnya.

Kelas Keberagaman antar negara ini bagaikan  kuali peleburan (melting pot). Melting pot adalah istilah yang menggambarkan masyarakat, yang heterogen yang melebur menjadi satu kesatuan. Dalam kontek ini satu kesatuan itu adalah kesatuan kelas.

Negara Indonesia atau Nusantara juga dapat disebut sebagai melting pot kebudayaan karena memiliki keragaman budaya, geografis, dan biologis yang berbeda. Di Nusantara, berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya saling berasimilasi dan berakulturasi. Proses itu: asimilasi dan akulturasi bisa terjadi dengan baik karena ada rasa toleransi, pengertian dan pemahaman atas segala perbedaan itu.

Ita Surojoyo (kanan) di antara rekan rekan dari negara lain di kelas internasional di EFLU. Foto: IS

Kelas kelas Keberagaman Kebangsaan sebagaimana diilustrasikan di atas, saat ini selama periode November – Desember 2024, menjadi pengalaman nyata bagi seorang peserta profesional dari Surabaya, Ita Surojoyo yang mengikuti program Pelàtihan Internasional di the Indian Technical and Economic Cooperation (ITEC) 2024 di Kota Hyderabad, India.

Duduk sama rendah, berdiri di atas kaki sendiri dalam satu kelas internasional. Foto: eflu

Di kelas, yang menyajikan program English Proficiency bagi 42 pengajar profesional Bahasa Inggris dari 25 negara itu, terjadi proses pemahaman atas segala perbedaan. Dalam interaksi dan komunikasi sosial antar peserta ini masing masing dituntut untuk lebih bijak dalam menilai lainnya. Mereka harus menghindari stereotype dan  prejudice. 

Stereotip adalah pandangan atau penilaian yang bersifat subjektif terhadap suatu kelompok sosial, yang didasarkan pada karakteristik umum dari kelompok tersebut. 

Beragam rupa dan bahasa dalam satu wadah yang sama “melting pot”. Foto: eflu

Sementara prejudice atau prasangka adalah sikap negatif yang dimiliki seseorang terhadap individu atau kelompok lain. Prasangka dapat terjadi terhadap berbagai hal, seperti etnis, ras, gender, agama, dan kelompok.

Nah, dalam kelas Keberagaman Kebangsaan ini sangat berpotensi terjadi prejudice dan stereotype, yang bisa berakibat kesalahpahaman. Karenanya dalam wadah Keberagaman perlu disadari akan nilai toleransi, pemahaman dan pengertian.  Nilai nilai ini akan membawa seseorang menjadi lebih bijaksana dalam menilai orang lain. 

Beragam warna baju dan kulit, tapi tetap saling menghargai. Foto: IS

Di kelas ITP ITEC di Universitas English and Foreign Language (EFLU) Hyderabad ini adalah ajang dimana 42 peserta dari 25 negara belajar tentang toleransi Keberagaman dan perbedaan yang dimiliki secara hakiki oleh manusia. Jadi, dalam program training ini, mereka tidak hanya belajar tentang English Proficiency (Kemahiran Bahasa Inggris), tetapi sekaligus belajar tentang hakiki manusia secara kultural.

Kelas Budaya untuk mengenalkan alat musik klasik India kepada para peserta. Foto: eflu

Secara kultural pula, mereka juga diajak Mengenal musik klasik India. Salah satu alat musik klasiknya disebut Tabla. Tabla adalah alat musik perkusi tradisional India yang digunakan dalam musik klasik Hindustan. Tabla merupakan alat musik yang terdiri dari sepasang drum tangan dengan ukuran dan warna nada yang berbeda.

 

Peserta diperkenalkan dengan alat musik Tabla yang diletakkan di atas meja. Foto: eflu

 

Sepasang alat musik klasik India Tablla. Foto: ist

Dalam waktu satu bulan penuh di EFLU, mereka berinteraksi secara akademik dan kultural serta Sosial. Diharapkan dengan selesainya program ini mereka akan semakin berkapasitas sebagai pengajar dan dosen bahasa Inggris serta semakin bijak sebagai individu dalam menilai perbedaan. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *