Bagaimana Karawitan Ludruk Bisa Menjadi Daya Tarik Wisatawan?

Rajapatni.com: Surabaya (3/10/24) – Belum lama Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya, Retno Hastijanti, bertanya dimanakah belajar ludruk? Saya sempat balik bertanya. Belajar apa dari ludruk? Menabuh karawitan, ngremo atau ngidung atau seni perannya? Kala itu saya sarankan belajar Ludruk dari Robert Bayonet, pimpinan Ludruk Nom Noman Tjap Arek Surabaya (Luntas).

Selain itu ada rekan jurnalis Jawa Pos juga bertanya mengenai apa yang kurang dari pemerintahan Eri Cahyadi dan Armuji selama lima tahun terakhir, khususnya mengenai isu budaya dan kebudayaan. Yang satu ini saya belum jawab.

Lantas, pada Kamis (3/10/24) seorang kawan asal Bali, I wayan Arcana, berdiskusi tentang potensi seni karawitan Bali, yang menjadi daya tarik warga asing untuk belajar. Karawitan  Bali seolah menjadi diplomasi budaya, yang menjadi perekat antar negara. 

Tidak cuma sebagai perekat antar negara, tetapi Karawitan Bali bahkan dapat membangun Bali sendiri dengan cara: 1) Membangun motivasi masyarakat untuk belajar seni, 2) Membangun pola pikir untuk mengembangkan budaya, khususnya kesenian dan 3) Melestarikan budaya karawitan

“Di Bali kan ada kantor perwakilan negara asing dan seni budaya Bali melalui karawitannya menjadi daya tarik mereka. Ada yang datang dari Kanada, Australia, Amerika serta Jepang untuk belajar menabuh karawitan dan menari Bali”, kata Wayan yang desanya, Bangli, juga tidak lepas dari perhatian tamu tamu manca negara.

Diskusi dengan Wayan ini bertempat di kantornya di dalam eks Penjara Koblen pada sore hari sambil ngopi. Wayan orangnya enak diajak diskusi terkait seni dan budaya.

Ketiga pertanyaan dan diskusi itu tanpa disengaja menuju pada titik yang sama. Yaitu seni karawitan. Di Bali ada karawitan Bali. Di Surabaya ada Karawitan ludruk. Ludruk sudah lama ada di Surabaya dan identik dengan Surabaya. Sederetan tokoh tokoh ludruk sudah melegenda seperti Cak Durasim, Cak Markeso, Cak Kancil, Cak Sidik dan Cak Kartolo.

Pengrawit Ludruk. Foto: dok JP/PAR

Ludruk juga sudah menjadi kebanggaan dan ikon Surabaya. Ludruk di satu sisi adalah remo dan kidungan. Di sisi lain, Ludruk adalah seni musiknya (karawitan) yang khas. Sudah pernahkah karawitan Ludruk menjadi objek pembelajaran sebagai bagian dari objek pariwisata budaya Surabaya sebagaimana di Bali atau di Yogyakarta? Adakah pengajar pengajar ludruk yang representatif untuk tujuan tujuan itu? Untuk tamu tamu asing.

Berangkat dari pertanyaan Ketua TACB Kota Surabaya, dimanakah dan kepada siapakah belajar ludruk? Pertanyaan itu sangat menggelitik dan penting serta menjadi ironis jika kota yang identik dengan ludruk, masih ada kesulitan belajar ludruk. Bagaimana kita bisa menawarkan Karawitan Ludruk sebagai bagian dari pariwisata Surabaya sebagaimana di Bali.

Bagaimana Karawitan Ludruk dapat membangun Surabaya jika Ludruk sendiri belum terbangun dengan sangat baik di Surabaya? Sesungguhnya Ludruk bisa turut membangun motivasi masyarakat untuk belajar seni; membangun pola pikir untuk mengembangkan budaya, khususnya kesenian dan melestarikan budaya karawitan ludruk dan seni pertunjukan ludruk.

Sudah harus dipikirkan, Ludruk juga sebagai objek pariwisata. Wisatawan tidak hanya cukup menonton, tapi mereka saatnya diberi pengalaman bermain atau menabuh karawitan. Pada peringatan Hari Aksara Internasional 2024 lalu, Ludruk Luntas sudah mulai melibatkan warga asing (Amerika) bermain ludruk. Bagaimana selanjutnya? Pemerintah harus turun tangan. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *