Rajapatni.com: Surabaya (26/9/24) – Jawa Timur memiliki Peraturan Gubernur (Pergub), yang mengatur tentang mata pelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal wajib di sekolah/madrasah. Ini tertuang pada Pergub Jatim nomor 19/2014. Namun, Jawa Timur belum memiliki peraturan tentang simbol atau isyarat bahasa daerah yang diasumsikan dan umum dikenal dengan Aksara.
Jawa Timur adalah sebuah provinsi, yang sangat kaya akan aksara dan aksara itu menunjukkan adanya peradaban lama, yang telah ada di Provinsi ini dan jejaknya bisa dibuktikan. Sayangnya, aksara aksara ini semakin langka dan seolah menjadi asing, yang lebih asing daripada aksara asing.
Misalnya China memiliki aksara Hanzi (汉字); Jepang memiliki aksara Kanji (漢字), India memiliki Aksara Dewanagari
(देवनागरी लिपि); Korea memiliki aksara Hangeul (한글) dan Thailand memiliki aksara akson Thai (อักษรไทย). Bagaimana dengan Indonesia, khususnya Jawa Timur ?
Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa di Jawa Timur ini ditemukan banyak prasasti kuno mulai dari era Medang, Kahuripan, Singasari hingga Majapahit. Mereka sudah menggunakan aksara, yang umum disebut Kawi atau Jawa Kuna.
Pasca Majapahit, berdiri kerajaan berikutnya. Yaitu Mataram yang di era Sultan Agung, hadir aksara Jawa Baru, yang disebut Aksara Jawa (Carakan). Di Jawa Timur, di era Kasunanan (Wali Songo), Aksara Jawa juga sudah dipakai.
Misalnya adanya inskripsi aksara Jawa pada Gapura Sunan Ampel. Di komplek makam Bupati Gresik juga banyak ditemukan prasasti beraksara Jawa. Pun demikian di komplek para Bupati Surabaya di Pesarean Sentono Agung Botoputih, Pegirian.
Aksara Jawa menjadi simbol bahasa yang digunakan kala itu. Kalau dibaca aksara aksara itu bunyinya adalah bahasa Jawa. Kita bisa tahu bunyi Bahasa dari dokumen tertulis, yang berupa prasasti dan inskripsi. Bunyinya adalah Aksara Jawa. Belum lagi manuskrip manuskrip, yang masih tersimpan di museum-museum maupun di tangan kolektor.
Kita tahu bagaimana bahasa itu dan itu bahasa apa dari jejak prasasti, inskripsi dan manuskrip. Bayangkan jika sekarang kita tidak memiliki bukti benda bertulis itu. Kita tidak tau itu bahasa apa.
Bahkan sekalipun digunakan Bahasa Arab (Arab Pegon), secara kasat mata adalah aksara Arab, tetapi jika dibaca ternyata bahasanya adalah bahasa Jawa.
Sesungguhnya aksara mendokumentasikan bahasa. Bahasa memang tidak bisa lepas dari Aksara. Di Jawa Timur, Aksara Jawa, kondisinya mengkhawatirkan, diambang kepunahan. Cepat atau lambat aksara Jawa akan punah jika tidak ada upaya penyelamatan dan pelestarian. Bahkan Sultan Hamengku Buwono X dalam pembukaan Kongres Aksara Jawa I di Yogyakarta tahun 2021 sempat mengatakan bahwa Aksara Jawa akan punah dalam 75 tahun.
“Jika bahasa daerah hanya digunakan oleh penutur berusia 25 tahun ke atas dan usia yang lebih muda tidak menggunakannya, jangan disesali jika 75 tahun ke depan atau tiga generasi, bahasa itu akan terancam punah”, papar Sultan yang dikutip dari https://m.harianjogja.com/jogjapolitan/read/2021/03/22/510/1066917/sri-sultan-sebut-75-tahun-lagi-bahasa-jawa-terancam-punah.
Aksara Jawa telah tergantikan oleh aksara Latin sejak masuknya bangsa Eropa ke Nusantara, terutama ke Jawa. Sejak itu literatur dan simbol simbol bahasa menggunakan aksara Latin. Bukan lagi aksara lokal (Jawa) untuk Jawa Timur.
Apa yang bisa kita perbuat untuk menyelamatkan aksara (khususnya di Jatim yang ternyata menjadi rumah bagi aksara aksara seperti Kawi, Jawa dan Pegon).
UPDATE PERGUB JATIM
Dalam Pergub Jatim nomor 19/2014 tentang mata pelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal wajib di sekolah/madrasah hanya mengatur Bahasa. Khususnya Bahasa Daerah.
Menurut pembina komunitas aksara Jawa Surabaya, A. Hermas Thony, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya (2019-2024) dan Anggota DPRD (2004-2009), Pergub Jatim tersebut perlu ada update melihat perkembangan dan tantangan terhadap bahasa dan Aksara.
Keterkaitan Bahasa dan Aksara tercermin dalam Pasal 5 tentang 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Disana disebutkan bahwa Bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Terkait dengan muatan lokal (mulok) bahwa di Jawa Timur ini selain ada rumpun etnis Jawa dan Madura, ada juga sub etnis lain seperti Osing, Bawean, Tengger dan Pendalungan. Mereka masing masing memiliki sub bahasa (dialeg) nya. Sehingga istilah yang digunakan dalam Pergub “ Bahasa Daerah” akan lebih cocok dan pas ketika disesuaikan menjadi “Bahasa Ibu”.
Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali dipelajari oleh seseorang sejak kecil secara alami. Bahasa ibu juga disebut sebagai bahasa asli atau bahasa pertama, merupakan bahasa yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan anggota masyarakat yang sama bahasanya, seperti keluarga, pengasuh, dan masyarakat lingkungannya. https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_ibu
Dari semua bahasa ibu (mother tongue), yang ada di Jawa Timur ini, bisa ditulis menggunakan Aksara Jawa. Meski Bahasa Madura, penulisannya secara tradisional adalah dalam Aksara Jawa (Carakan).
“Jadi, memang seharusnya dalam Pergub Jatim 19/2014 tentang mata pelajaran Bahasa Daerah sebagai muatan lokal wajib di sekolah/madrasah dapat disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan”, tegas Thony.
Bahasa Daerah bisa disesuaikan dengan Bahasa Ibu (mother tongue) dan selain bahasa daerah juga perlu ada Aksara Jawa.
“Melihat fakta sejarah dan geliat pelestarian aksara, sampai kemudian lahir Kongres Aksara Jawa di Yogyakarta pada 2021, berarti Peraturan Gubernur Jatim yang ada bisa disinergikan dengan fakta sejarah dan Kongres Aksara Jawa, yang dihadiri oleh tiga pengampu provinsi: Jawa Timur, Jawa Tengah dan DIY”, jelas Thony ketika mendapat Lembar Pergub Jatim 19/2014.
Selanjutnya Pergub Jatim 19/2014 sangat kondisional berdasarkan sejarah dan fakta untuk menatap masa depan demi pelestarian Bahasa dan Aksara.
Aksara Jawa ini ibaratnya “Apapun bahasa ibunya, aksaranya adalah Aksara Jawa”. Karena semua bahasa ibu, yang ada di Jawa Timur, dapat ditulis dalam aksara Jawa. Dari dokumen penulisan aksara, kita bisa tau itu menggunakan bahasa apa. Penggunaan aksara adalah bentuk pendokumentasian. (PAR/nng)