Rajapatni.com: SURABAYA – Sangat menarik memperhatikan beragam tanggapan yang muncul atas gagasan Aksara Nusantara sebagai identitas yang Rupiah.
Bagi mereka yang sudah menyelami dan berkutat dengan kenusantaraan negeri ini, maka gagasan Aksara Nusantara sebagai identitas dan ciri rupiah Indonesia adalah wajar dan semestinya.
Karena penyertaan Aksara Nusantara pada Rupiah Indonesia menjadi upaya: 1) Pelestarian Budaya, 2) Nilai Historis dan Estetika, 3) Menarik Wisatawan dan Kolektor, 4) Meningkatkan Nasionalisme, 5) Keamanan Mata Uang.
Tidak ada salahnya menambahkan Aksara Nusantara sebagai ciri ciri Rupiah. Namun bagi pihak pihak yang belum memahami Aksara Nusantara dianggap sebagai bahasa. Sehingga dibenturkan dengan Konsep Sumpah Pemuda sehingga menjadi kesan kontradisi dengan Sumpah Pemuda yang diucapkan pada 28 Oktober 1928.
Aksara bukan bahasa. Aksara merupakan sistem penulisan suatu bahasa, yang menggunakan simbol-simbol atau keseluruhan sistem tulisan. Aksara juga dapat disebut sebagai sistem tulisan. Di Indonesia ada 12 aksara Nusantara antara lain aksara Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Sedangkan Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi secara lisan, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri. Di Indonesia ada lebih dari 700 bahasa daerah.
Dari 700 bahasa daerah itu ada satu Bahasa persatuan. Yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa persatuan ini yang menjadi salah satu item dalam Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bngs Dan Satu Bahasa, Indonesia.
Sumpah Pemuda tidak menyentuh Aksara Nusantara. Aksara Nusantara bisa terlihat kalau dituliskan. Begitupun tarian daerah akan terlihat jika digambarkan. Tarian daerah telah digambarkan pada rupiah untuk memberikan ciri ciri rupiah. Begitupun dengan Aksara Nusantara juga bisa dituliskan untuk memperkuat ciri ciri Rupiah.
Jadi jika Aksara Nusantara dituliskan pad pecahan rupiah baik kertas maupun koin sama sekali tidak ada kaitannya dengan krontradisi dengan Sumpah Pemuda.
“Kita punya ratusan tari Nusantara tapi hanya ada 7 tarian yang muncul di mata uang RI. Apakah itu kontradiksi dengan semangat nasionalisme? Sumpah pemuda hanya bahas bahasa bukan aksara”, demikian kata Ita Surojoyo, pendiri Komunitas Aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni.
Sementara itu Dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Drs. Sugeng Adipitoyo, M.Si. setuju dengan penulisan Aksara Nusantara pada pecahan Rupiah karena cara ini menjadi upaya ruang konservasi.
“Sárujùk Más. Áksårå Nùswántårå bêtáh ruwángán kánggé kònsêrvási”, begitu pesan singkat Sugeng Adipitoyo melalui WhatsApp.
Sedangkan menurut A. Hermas Thony, pembina Puri Aksara Rajapatni yang sekaligus Penggerak budaya Surabaya bahwa penulisan Aksara Nusantara adalah bentuk penguatan rupiah di tengah mata uang negara negara Dunia.
“Dengan adanya identitas Aksara Nusantara, Dunia akan tahu bahwa itu adalah Mata uang Rupiah Indonesia”, pungkas Thony dalam menyikapi munculnya pendapat tentang penulisan Aksara Nusantara pada Rupiah Indonesia. (PAR/nng)