Aksara Jawa telah digunakan di Surabaya Pada Masa Sunan Ampel di abad 15.

Rajapatni.com: Surabaya (1/5/24) – Makam ꦱꦸꦤꦤ꧀ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ Sunan Ampel dan Masjid Sunan Ampel sudah menjadi ikon wisata religi kota Surabaya. Sunan Ampel sendiri adalah satu dari sembilan Wali (Wali Sanga) penyebar agama Islam di Jawa. Tempat ini tidak pernah sepi dari pengunjung baik dari daerah sekitar, luar provinsi, luar pulau dan bahkan luar negeri.

Jika Sunan Ampel hidup di abad 15, maka makam dan masjid yang didirikannya juga mulai ada pada kisaran abad 15. Menyimak riwayat nya bahwa ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ Masjid Ampel sendiri pernah ada pemugaran (perluasan) pada pertengahan abad 19.

Menurut GH von Faber, Oud Soerabaia (1953), bahwa Masjid Ampel ini pernah ꦫꦺꦤꦺꦴꦮ꦳ꦱꦶ renovasi (perluasan) pada tahun 1840 an. Terbukti bangunan masjid, yang dapat kita lihat sekarang, ada ciri ciri arsitektur kolonial.

Masih menurut von Faber, sebelum perluasan, Masjid Ampel itu berukuran lebih kecil dan seiring dengan bertambah nya umat Muslim yang beribadah di masjid itu, maka masjid lama tidak bisa menampung jumlah jamaah. Karenanya ꦏꦥꦱꦶꦠꦱ꧀ kapasitas masjid diperluas. Sehingga pada era itu Surabaya memiliki dua masjid besar: Masjid Ampel dan Masjid Kemayoran (Surapringga).

GH von Faber dalam bukunya Oud Soerabaia juga menuliskan bahwa kedatangan ꦫꦣꦺꦤ꧀ꦫꦃꦩꦠ꧀ Raden Rahmat (Sunan Ampel) dari Trowulan ke Ampel Denta diikuti olèh ribuan kepala keluarga. Karenanya Raden Rahmat, yang selanjutnya berjuluk Sunan di wilayah Ampel (Sunan Ampel), tidak hanya sebagai ulama, tapi juga pimpinan (kepala) daerah dan saudagar.

Sifat sifat dari ketiga jabatan ini masih membekas di kawasan Ampel. Yaitu sebagai ꦈꦭꦩ ulama (masjid), pimpinan masyarakat (bahasa dan aksara) dan saudagar (relief rempah rempah).

Sebagai pimpinan ꦄꦒꦩ agama (ulama) sudah sangat jelas wujud nya. Yaitu Masjid sebagai tempat dalam penyebaran dan syiar agama.

Sebagai pimpinan masyarakat ꦈꦩꦫꦃ (umarah) terlihat dengan tatanan masyarakat yang tinggal di Ampeldento. Menata masyarakat tidak lepas dengan bahasa sebagai alat komunikasi. Pada era itu alat komunikasi adalah bahasa Jawa dan aksara Jawa.

Sebagai saudagar, relief bunga cengkeh dan bunga lawang terdapat pada gapura gapura yang menjadi pintu masuk ke masjid dan makam Sunan Ampel. Relief bunga cengkeh dan bunga lawang pada gapura menjadi bentuk ꦭꦺꦒꦶꦠꦶꦩꦱꦶ legitimasi produk rempah rempah Nusantara yang kala itu menjadi komoditas dagang di era Majapahit.

Di era itu, masyarakat di Ampel Denta tentu tidak berbahasa Melayu, apalagi bahasa Belanda. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa lokal. Yaitu Jawa atau masih ꦗꦮꦏꦸꦤ Jawa Kuna. Dengan kata lain bahasa asli masyarakat Jawa dan Ampel Denta atau Surapringga (sekarang Surabaya) adalah Jawa.

 

Falsafah Sunan Ampel

Sunan Ampel punya ꦥ꦳ꦭ꧀ꦱꦥ꦳ꦃ falsafah “Molimo” sebagai salah satu metode dakwah yang terus disampaikan kepada masyarakat. Falsafah “Molimo” adalah bahasa Jawa dari kata “Moh Limo”, yaitu “moh” artinya “tidak mau” dan “limo” artinya “lima”.

Di Gapura Munggah  inilah inskripsi aksara Jawa itu berada . Foto: nanang PAR

Dari ꦱꦼꦫꦠ꧀ Serat Madat, Madon, Minum, Main, Maling yang menjadi falsafah Sunan Ampel kemudian dialih aksara ke dalam bahasa Jawa, diketahui bahwa serat itu berbahasa Jawa yang ditulis dalam aksara Jawa.

Serat ini sekarang menjadi koleksi ꦱꦱꦤꦥꦸꦱ꧀ꦠꦏ Sasana Pustaka Kraton Surakarta. Naskah tersebut berisi tentang larangan berbuat Ma lima. Dalam istilah orang Jawa Ma lima meliputi madat (pecandu narkoba), madon (bermain perempuan/ laki-laki atau selingkuh), minum (minum minuman keras), main (judi) dan maling (mencuri).

Maka dapat dimengerti bahwa di era Sunan Ampel, bahasa yang dipakai adalah ꦧꦲꦱꦗꦮ bahasa Jawa. Sedangkan aksara untuk tulis menulis adalah Aksara Jawa.

 

Prasasti Gapura Ampel

Keberadaan aksara Jawa tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Di salah satu dari lima ꦒꦥꦸꦫ Gapura di Ampel, ada satu yang bernama Gapura Munggah di ujung Selatan (menghadap jaman Sasak) terdapat inskripsi Beraksara Jawa pada blandar kayu pada gapura.

Gapura Munggah ini berada paling selatan, menghadap jalan Sasask. Foto: nanang PAR

Prasasti ini pernah dibaca olèh petugas ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ꦠꦿꦺꦴꦮꦸꦭꦤ꧀ Muséum Mpu Tantular. Tulisan beraksara Jawa itu berbunyi :

Inskripsi beraksara Jawa di Gapura Munggah (sisi kiri blandar). Foto: nanang PAR
Inskripsi di sisi kanan blandar. Foto: nanang PAR

ꦄꦣꦤꦮꦭꦺꦮꦮꦮꦣꦄꦫꦔꦄꦱꦱꦮꦥ “Adhanawalewa wawadha aranga asasawapa”. Menurut pembacaan petugas Museum Mpu Tantular, prasasti pada gapura itu berarti siapa saja yang melewati gapura itu akan selamat.

Diduga ꦥꦿꦱꦱ꧀ꦠꦶ prasasti ini dibuat seiring dengan pembuatan gapura gapura. Yang menarik inskripsi ini dibuat di gapura paling luar (selatan) sehingga siapapun setelah melewati gapura ini senantiasa dalam lindungan Allah tatkala berjalan menuju makam Sunan Ampel. Semua gapura berbentuk paduraksa sebagai bentuk bersatunya rasa antara peziarah dan yang didoakan.

Gapura Sunan Ampel secara empiris membuktikan bahwa Aksara Jawa telah digunakan jauh sebelum bangsa ꦌꦫꦺꦴꦥꦃ Éropah masuk Nusantara. Saat itu bahasa yang digunakan adalah bahasa lokal, termasuk aksara ya. Yaitu bahasa dan aksara Jawa.

Jelas sekali bahwa Aksara Jawa telah digunakan di Ampel Denta, ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga, Surabaya. (nanang)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *