Rajapatni.com: Surabaya (19/6/24) – AMPEL Denta adalah wilayah perdikan di era ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Majapahit. Letaknya di antara dua sungai terkenal di Surabaya. Kalimas di Barat dan kali Pegirian di Timur. Ampel Denta adalah kawasan subur yang menyimpan banyak air tanah karena alamnya yang banyak ditumbuhi oleh rumpun rumpun bambu. Demikian kata ahli hukum lingkungan Profesor Suparto Wijoyo dari Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair).
Di ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta inilah Raden Rahmat dengan pengikutnya dari Trowulan datang berbondong bondong untuk menghuni lahan subur atas pemberian Raja Majapahit pada awal abad 15. Di tempat ini Raden Rahmat mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada pengikutnya dan warga setempat yang telah menghuni kawasan ini sebelumnya. Islam pun berkembang dari Ampel Denta.
Sebuah pesan dalam aksara Jawa tertulis pada blandar kayu pada salah satu gapura di komplek Masjid Ampel ini. Tepatnya pada gapura yang bernama ꦒꦥꦸꦫꦩꦸꦁꦒꦃ Gapura Munggah yang berdiri menghadap jalan Sasak. Menurut pembacaan pihak museum Mpu Tantular, pesan beraksara Jawa ini mempunyai arti “barang siapa melewati gapura ini akan selamat”.
Sekarang lorong gang, yang menghubungkan antara ꦒꦥꦸꦫꦩꦸꦁꦒꦃ Gapura Munggah (pertama) dengan gapura kedua di sebelah utaranya, bernama Ampel Suci. Wilayah Ampel Denta sudah berkembang menjadi Ampel Ampel lainnya seperti Ampel Gubah, Ampel Kembang, Ampel Menara dan banyak lagi lainnya.
Secara etnis dan historis, pemukim di ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta ini adalah warga etnis Jawa. Mereka berbahasa Jawa. Dalam komunikasi tulis, misal dalam proses belajar mengajar ajaran Islam, tentunya memakai aksara Jawa. Bukti tertulis yang masih dapat ditemui sebagai bukti otentik adalah pesan inskripsi pada Gapura Munggah. Inskripsi ini berbunyi “Adhanawalewa Wawadha Arangu Asasawapa”. (Menurut pembacaan pihak museum Mpu Tantular).
Kini zaman telah berganti dan perubahan banyak terjadi. Satu nama Ampel Denta sudah bervariasi. Ada Ampel Melati hingga ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦱꦸꦕꦶ Ampel Suci. Warganya pun sudah multi. Multi etnis dan multi bahasa serta multi komoditi.
Banyak pedagang di sekitar Masjid Ampel, yang dibuka oleh Raden Rahmat yang kemudian disebut ꦱꦸꦤꦤ꧀ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ Sunan Ampel. Salah satu pedagang ini adalah warga etnis Arab yang menamakan diri Janoko dan berdagang aneka jenis batik dan sarung dengan motif aksara Jawa. Bahkan nama tokonya pun diberi nama Janoko.
Janoko dengan usaha dagang batik dan sarung bermotif ꦧꦠꦶꦏ꧀ꦗꦮ batik Jawa dan beraksara Jawa, tanpa disadari telah ikut menjaga eksistensi tradisi lokal. Tempat dimana Janoko berdagang adalah kawasan yang secara etnis dan historis adalah pemukiman Jawa di era Kanjeng Sunan Ampel.
Sementara barang dagangannya menyimpan nilai nilai etnis Jawa. Warga dari ꦧ꧀ꦭꦶꦠꦂ Blitar, yang datang ke Ampel untuk berziarah, mampir ke toko Jonoko dan sengaja mencari kain yang bergambar wayang dan beraksara Jawa.
“Ada, ada, sini. Ini. Harga ꦩꦸꦫꦃ murah. Lima puluh ribu saja”, sambut Janoko kepada pelanggan yang datang dari Blitar.
Pelanggan tanpa menawar langsung memilih sarung bermotif wayang dan beraksara Jawa.
“ Kainnya halus dan dingin”, kata salah satu pelanggan sambil merasakan tekstur kainnya.
Sebenarnya, Janoko tidak satu satunya penjual pakaian dan perlengkapan ibadah yang beraksara Jawa. Masih ada toko toko lainnya yang memajang barang ꦣꦒꦔꦤ꧀ dagangan bermotif aksara Jawa.
Aksara Jawa pada motif kain adalah bentuk aktualisasi tradisi Jawa yang sudah lama ada di kawasan ini. Bukti nyatanya adalah ꦒꦥꦸꦫ gapura beraksara Jawa. (nanang PAR)*