Rajapatni.com: Surabaya (18/6/24) – SINAR mentari masih terlalu doyong. Tanda masih pagi. Asap putih dari bakaran sampah dedaunan membentuk ꦥꦿꦶꦱ꧀ꦩ prisma karena jatuhnya sunar mentari. Semakin tebal asap, semakin terlihatlah bias prisma itu di antara dedaunan beringin yang tumbuh lebat di lokasi arca Joko Dolog di belakang Taman Apsari Surabaya.
Bias sinar itu pun membasuh lembut ꦆꦤ꧀ꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀ꦱꦶ inskripsi indah yang melingkar pada lapik Sang Buddha sebagai perwujudan Raja Kertanegara, raja terakhir kerajaan Singasari.
Pada pagi itu, Selasa (18/6/24) bidikan moncong kamera video mengabadikan lekak lekuk ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮꦏꦸꦤ aksara Jawa kuna (Kawi) yang menggurat indah dan rapi dalam bahasa Asing, Sansekerta. Singkatnya, prasasti Arca Kertanegara atau Joko Dolog ini ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan aksara Jawa Kuno, yang bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289.
ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮꦏꦸꦤ Aksara Jawa Kuna adalah wujud literasi tulis yang umum dipakai pada masa Singasari dan Majapahit. Selanjutnya Aksara Jawa Kuna ini bertransformasi ke Aksara Jawa Baru atau Carakan (Hanacaraka).
Arca Buddha, yang umum disebut Joko Dolog ini, memang bukan asli Surabaya. Arca ini mulanya ditemukan di daerah Kandang Gajah, yang termasuk dalam wilayah desa ꦧꦼꦗꦶꦗꦺꦴꦁ Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 1817, arca ini dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis.
Dari Surabaya di era modern, sejarah kebangkitan Aksara Jawa yang mulai diserukan walikota Surabaya, Eri Cahyadi pada 2023, sesungguhnya tidak lepas kisah Arca Joko Dolog. Karena secara fisik, Aksara Jawa Kuna selanjutnya berkembang menjadi Aksara Jawa yang disebut ꦕꦫꦏꦤ꧀ Carakan (Hanacaraka).
Secara literatif, Aksara Jawa adalah literasi tulis yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Bukti faktualnya ada di beberapa tempat di Surabaya. Fakta paling tua adalah inskripsi Aksara Jawa yang terdapat pada blandar ꦏꦪꦸ KAYU Gapura Munggah di kompleks Masjid Ampel. Diperkirakan ditulis pada abad 15-16.
Di tempat lain, inskripsi Aksara Jawa ditemukan di Masjid Kemayoran, yang mengabadikan pembangunan masjid pada tahun 1840-an. Inskripsi ini dibuat dari bahan ꦭꦺꦴꦒꦩ꧀ LOGAM. Kuningan.
Sementara, inskripsi berbahan ꦧꦠꦸ BATU ada di komplek Pesarean Agung Sentono Boto Putih Pegirian, yang dikenal sebagai kompleks Pesarean para Bupati Surabaya.
Masih ada lagi Aksara Jawa yang ditulis pada bahan ꦏꦼꦂꦠꦱ꧀ KERTAS, yang mengisahkan silsilah keturunan Sunan Ampel dan Pangeran Pekik. Surabaya punya bukti bukti nyata penulisan Aksara Jawa pada media Kayu, Logam, Batu dan Kertas. Wow! Satu lagi yang belum ditemukan. Yaitu berbahan LONTAR.
Keberagaman media tulis Aksara Jawa ini seolah sama dengan keberagaman pengguna Aksara Jawa, yang ternyata digunakan lintas agama dan kepercayaan. Dari contoh penggunaannya di Masjid Kemayoran dan di lingkungan Masjid Ampel, berarti Aksara Jawa digunakan di lingkungan ꦆꦱ꧀ꦭꦩꦶ Islami.
Di gereja gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Aksara Jawa sudah menjiwai umat ꦏꦿꦶꦱ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦗꦮꦶꦮꦼꦠꦤ꧀ Kristen Jawi Wetan. Salah satunya GKJW di Dharmahusada. Aksara Jawa universal. Tidak hanya lintas agama, tetapi Aksara Jawa juga digunakan lintas etnis dan lintas kebangsaan.
Di lingkungan pedagang ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ Ampel misalnya, di stand stand penjual pakaian dan perlengkapan ibadah, Aksara Jawa menjadi hiasan kain dan sarung. Tanpa disadari bahwa Aksara Jawa hadir kembali dalam bentuk motif kain dan sarung. Kain bermotif Aksara Jawa adalah wujud pemajuan kebudayaan sebagaimana tersebut dalam 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK).
Atas serpihan serpihan aksara Jawa yang masih ada, Komunitas budaya Puri Aksara Rajapatni berupaya untuk mendokumentasikannya. (nanang PAR)*