Rajapatni.com: SURABAYA – Pandangan mengenai tafsir Aksara Jawa (huruf Jawa) di masyarakat, tampaknya seperti ideologi yang terbuka hingga memunculkan pandangan yang beragam dari tokoh masyarakat yang menafsirkannya. Mengapa bisa demikian? Ya, sebab sampai sekarang belum ada ahli sejarah yang telah berhasil menemukan penemuan peristiwa di balik munculnya Aksara Jawa secara valid dan meyakinkan.

Misbah El Munir, misalnya, dalam bukunya Asal-Usul Aksara Jawa (1983) menjelaskan bahwa Aksara Jawa: Ha na ca ra ka, Da ta sa wa la, Pa dha ja ya nya, Ma ga ba tha nga, bermula dari kisah Prabu Aji Saka (seorang dari India) yang mengembara ke Tanah Jawa bersama dua orang pembantunya; Dora dan Sembada.
Dalam pengembaraannya, Prabu Aji Saka menugaskan kepada Dora agar menunggui barang bawaannya (benda-benda antik dan berbagai pusaka) dengan suatu pesan: suatu saat nanti barang-barang tersebut akan diambilnya sendiri, sehingga Dora tak diperkenankan menyerahkan kepada siapa pun jua.
Setelah Prabu Aji Saka bisa mengalahkan Prabu Dewatacengkar, maka ia pun dinobatkan sebagai Raja menggantikan raja yang angkara murka. Setelah itu, Prabu Aji Saka menugaskan kepada Sembada agar mengambil benda-benda antik dan barang-barang berharga lainnya yang masih dijaga Dora.
Rupanya, Dora tak memperkenankan Sembada mengambil barang-barang tersebut. Sementara Sembada pun juga tak mau kalah bahwa ia adalah utusan tuannya Prabu Aji Saka. Maka, perang pun tak bisa dielakkan hingga terjadilah mati sampyuh (sama-sama mati).
Memang, cerita dalam Aksara Jawa tersebut sangat populer di masyarakat. Huruf Hana caraka diartikan sebagai ada utusan; maksudnya Sembada yang diutus Prabu Aji Saka untuk mengambil barang-barang antik dan berbagai senjata yang dijaga oleh Dora.
Namun, karena Dora teringat pesan tuannya (Aji Saka) bahwa yang berhak dan boleh mengambil benda-benda tersebut hanya tuannya, maka ia tak mau menyerahkan kepada sahabatnya, Sembada. Sementara, Dora pun ngotot bahwa ia juga diutus tuannya, Prabu Aji Saka. Keduanya pun bertengkar hebat dengan argumentasinya masing-masing; kemudian direfleksikan dari data sawala, maknanya saling bertengkar.
Pertengkaran di antara dua pembantu Prabu Aji Saka tersebut bukan main-main, sebab sampai terjadi perkelahian hebat. Ternyata keduanya sama-sama sakti mandraguna; kemudian diilustrasikan sebagai padha jayanya. Dan, perkelahian dua orang tadi diakhiri dengan mati sampyuh; dilambangkan dengan maga bathanga. (PAR/wwn/nng)
(bersambung…..)
(*) Wawan Susetya adalah Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jawa Timur.