2. Aksara Jawa: Lokal Tapi Bersubstansi Universal (*)

Rajapatni.com: SURABAYA – Almarhum Ki Sudjinal, seorang dhalang, sastrawan dan budayawan Tulungagung Jatim, berpandangan bahwa Aksara Jawa merupakan simbol yang substansial, mengandung unsur kesejatian dan esensial yang berlaku secara universal dalam kehidupan. Makna Hana caraka artinya ada utusan Allah di muka bumi, yang digambarkan dengan dikirim-Nya para Nabi/Rasul Allah SWT di muka bumi untuk menyeru kepada umat manusia. 

Kehadiran sang utusan tadi, sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT dalam Kitab Suci Al-Quran bahwa tidak ada satu negeri pun yang tidak didatangkan seorang utusan Tuhan. Bahkan, utusan Tuhan tadi berasal dari kaum mereka sendiri.

20 Aksara Jawa yang disetiap aksara mengandung makna. Foto: ist

Setelah kedatangan rasul (utusan Tuhan), maka biasanya terjadilah Data sawala, datanya (kenyataannya) menjadi sawala (tidak sinkron). Artinya ada penolakan dari masyarakat terhadap orang-orang yang didatangkan sebagai utusan Tuhan. Begitu pula dengan yang dialami para Nabi/Rasul Allah, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Atau, terutama tercermin dalam khasanah Ulul Azmi Perjuangan dan dakwah besar yang dilakukan oleh lima orang Rasul/Nabi besar; Nabi Nuh, Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad Kepada kaumnya! 

Seolah-olah, penolakan terhadap kebenaran melalui kedatangan para utusan Allah tersebut sudah menjadi hukum alam (sunnatullah). 

Semuanya sama-sama mengisyaratkan kekuatannya masing-masing; bukan saja kekuatan fisik dengan bala tentara dan pendukungnya tetapi lebih substansional adalah kekuatan visi-misi atau prinsip hidupnya (keyakinannya) yang dilambangkan Padha jayanya. Artinya, kedua belah pihak baik yang membawa kebenaran maupun orang-orang yang mengingkari sama-sama memiliki prinsip kuat terhadap keyakinan mereka masing-masing. 

Ibaratnya, mereka sama-sama ingin menunjukkan eksistensinya atau keberadaannya sendiri-sendiri.

Karena kedua kubu memiliki prinsipnya masing-masing yang sama-sama kuatnya, maka semuanya diserahkan pada keyakinannya masing-masing pula; yang kemudian diilustrasikan dengan ungkapan Maga bathanga. 

Hal itu jika dikontekstualkan ke dalam Al-Quran, maka seperti bunyi ayat Al-Quran; Lakum diinukum waliyadin (bagimu agamamu dan untukku agamaku). Dan, begitulah tidak ada paksaan dalam agama (Islam); semuanya diserahkan pada kebijakan hati dengan pilihannya masing-masing. 

Tak ketinggalan pula Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) Raja Mataram, Menguraikan makna abjad Jawa yang jumlahnya 20 huruf tersebut sebagai langkah pemula untuk mencari kebenaran. 

Hal tersebut merupakan petunjuk akan makna serta puji kepada sumber dari segala hidup atau tumbuh, memberikan (mirit) ajaran Akadiyah dalam ha, na, ca, ra, ka sebagai petunjuknya. 

Sedangkan, da, ta, sa, wa, la adalah pengertian kepada yang dipuji. Wadah sejati yang dirasakan diilustrasikan dengan pa, dha, ja, ya, nya; yang membuktikan bahwa yang memberi dan diberi petunjuk sama teguh kuatnya yang bertujuan untuk pendukung dari gagasan Akadiyat.

Sedangkan, ma, ga, ba, tha, nga menunjukkan bukti keadaan yang sejati. 

Dalam konteks ini, Sultan Agung mengaitkan dengan Manikmaya (Bathara Guru; dalam pewayangan) sebagai akhir petunjuk tersebut. Manikmaya adalah Taya; artinya tiada, laksana bersatunya hati dalam alam arwah yang mengisyaratkan awal dan akhir (dari Hyang Maha Manik). 

Keghaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap dengan tulisan. Tak ada awal, tempat, arah, dan akhir. Itulah sekelumit ungkapan Sultan Agung tentang makna suwung (kosong), taya, awal, dan akhir dari tujuan. 

Secara substansial, Pandan Guritno (lihat Dr. Purwadi, 2004) dalam ceramahnya di Javanologi dari Yayasan Kebudayaan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan di Yogyakarta, 1984 tentang Peranan Panakawan dalam Pewayangan Bahwa panakawan atawa punakawan dalam pewayangan merupakan pengejawantahan sifat dan watak manusia dengan lambangnya masing-masing. 

Semar untuk karsa, Gareng untuk cipta, Petruk untuk rasa, dan Bagong untuk karya (usaha). Semua itu tersirat dari permulaan aksara Jawa; ha, na, ca, ra, ka. Huruf ha artinya ada, na berarti nafas, ca berarti cipta, ra berarti rasa, dan ka berarti karsa (karya). (PAR/wwn/nng)

bersambung…..

(*) Wawan Susetya adalah Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jawa Timur.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *