Rajapatni.com: SURABAYA – Mbah Warso, demikian warga Desa Watugunung, Purworejo Jawa Tengah dipanggil. Ia dikenal Sang Guru Suci Purworejo juga menerapkan pandangan filsafat Huruf Jawa (Tabloid Posmo; Membuka Mata Batin, Edisi 371 tahun VII 07 Juni 2006).
Berdasarkan wejangan Sunan Kalijaga yang diterimanya, filsafat hidup Huruf Jawa, sebagai berikut:

Hana caraka berarti ada utusan atau Duta sebagai utusan hidup berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia, dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan).
Data sawala berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data (mati) atau saatnya dipanggil tidak boleh sawala alias mengelak. Manusia (dengan segala atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima, dan menjalankan kehendak Tuhan.
Padha jayanya berarti menyatunya Zat pemberi hidup (Khalik) dengan yang diberi hidup (makhluk). Maksudnya padha adalah sama atau sesuai, jumbuh, cocok tunggal batin yang bercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu menang, unggul sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan sekedar menang atau menang tidak sportif.
Maga bathanga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat. Meskipun manusia diberi hak untuk me-wiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Menurut Sang Guru Suci Purworejo, Mbah Warso, jika dijabarkan lebih detail, masih banyak filsafat-filsafat hidup yang tergali dari deretan Huruf Jawa tersebut, antara lain sebagai berikut:
Hana Caraka
Huruf, Ha: hana hurip wening suci. Artinya adalah adanya hidup adalah kehendak dari yang Mahasuci. Na: nur candra, gaib candra, warsitaning candra pengharapan manusia agar selalu ke sinar Ilahi. Ca: cipto wening, cipto mandulu, cipto dadisatu arah dan tujuan kepada Yang Tunggal. Ra: rasa ingsun handulusihrasa cinta sejati ada pada cinta kasih nurani. Ka: karsaningsun memayuning bawono hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam.
Data sawala
Sedangkan, Da: dumadining zat kang tanpa winangenan menerima hidup apa adanya. Ta: tatas, tutus, titis, titi lan wibowa mendasar totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup. Sa: sifat ingsun handulu sifatullah membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan. Wa: wujud hana tan kena kinira ilmu manusia hanya terbatas. La: lir handaya paseban jati mengalirkan hidup pada tuntunan Ilahi.
Pada jayanya
Pa: papan kang tanpa kiblat Gusti Allah ada di segala arah. Dha: dhuwur wekasane endek wiwitane untuk bisa diatas harus dimulai dari dasar. Ja: jumbuhing kawula lan Gusti berusaha menyatu/memahami dengan kehendak-Nya. Ya: yakin marang samubarang tumindak kang dumadi yakin akan titah/kodrat Ilahi. Nya: nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki memahami kodrat kehidupan.
Maga bathanga
Adapun, Ma: madhep mantep manembah mring Ilahiyakin/mantap menyembah Ilahi. Ga: guru sejati sing muruki belajar pada nurani. Ba: bayu sejati kang andalani menyelaraskan pada gerak alam. Tha: tukul saka niyat sesuatu harus dimulai/tumbuh dari niatan. Nga: ngracut busananing manungsa melepaskan egoisme pribadi manusia.
Jika dihubungkan dengan kehidupan sekarang, sungguh bisa menjadi kaca benggala. Bagi yang tak terbiasa memang sulit. Apalagi hidup di zaman sekarang. Tetapi, setidak-tidaknya, kita tidak akan terjerumus oleh arus globalisasi yang makin menggila, jelas Mbah Warso.
Nora kurang wulang wuruk (tak kurang piwulang dan ajaran). Tumrape wong tanah Jawi (bagi orang tanah jawa). Laku-lakune ngagesang (prilaku dalam kehidupan), lamun gelem anglakoni (jika mau menjalaninya) tegese Aksara Jawa (maknanya aksara jawa), iku guru kang sejati (itu guru yang sejati), kata tokoh sepuh Purworejo. (PAR/wwn/nng)
bersambung…..
(*) Wawan Susetya adalah Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jawa Timur.