Sejarah Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Air menjadi kebutuhan utama manusia di segala zaman dan menjadi kebutuhan universal bagi semua peradaban di dunia. Tidak pandang bulu, tempat dan wantu, air sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari hari sepanjang masa dan oleh kehidupan apa saja mulai manusia, hewan dan tumbuhan.
Ternyata sejarah Surabaya tidak lepas dari air. Karenanya kita wajib bersyukur atas nikmat ini. Tidak semua daerah dan bahkan negara memiliki sejarah yang lekat dengan air, yang menjadi kebutuhan dasar kehidupan di muka bumi ini. Maka sekali lagi, bersyukurlah warga kota Surabaya, yang buminya diberi nikmat dengan keberadaan air.
Surabaya telah ditakdirkan hidup berdampingan dengan air. Karenanya masyarakat nya haruslah ramah dengan air agar air yang melimpah secara natural tidak membawa bencana, tetapi manfaat.
Profesor Suparto Wijoyo, ahli hukum lingkungan yang juga dosen sekolah Pascasarjana Unair pernah berkata ketika dalam sebuah perjalanan melewati desa Blawi di Karangbinangun, Kabupaten Lamongan pada 2022 lalu.
“Datangnya banjir harus disyukuri sebagai anugerah dan jangan selalu dianggap sebagai bencana, yang kemudian berujung pada kebiasaan berharap welas asih dari bantuan pemerintah”, kata Suparto Wijoyo.
Ia pun lebih lanjut menjelaskan bahwa dengan datangnya kajadian alam tahunan di wilayah asal kelahirannya itu, manusia harus bisa beradaptasi dengan aktivitas sesuai dengan kondisi.
“Ini mengurangi ketergantungan yang berharap pada bantuan dan bantuan”, tambah Suparto Wijoyo.
Jejak Sejarah
Dalam jejak sejarah Surabaya, Surabaya ini adalah kota air. Datanya sangat faktual dan nyata. Berarti masyarakat Surabaya akan senantiasa hidup berdampingan dengan air.
Fakta sekarang dan selamanya adalah bahwa Surabaya dilalui oleh sungai Kalimas dan berada di tepi laut yang selanjutnya berjuluk kota pelabuhan (port city).
Naditira Pradesa

Fakta lama (sejarah) adalah Surabaya terhitung sebagai salah satu dari desa desa yang berada di tepian sungai (Naditira Pradesa), sebagaimana tertulis pada prasasti Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk pada 7 Juli 1358.
Nama Surabaya tertulis “Syurabhaya”, yang berarti Berani menghadapi bahaya. Air atau sungai dan laut adalah satu wahana kebahayaan di muka bumi. Makanya sebagai Masyarakat, yang tinggal dan hidup tidak lepas dari air (sungai dan laut), dianugerahi sifat sifat berani untuk hidup di darat dan di air.
Tak heran jika masyarakat, yang hidup di tepian sungai atau Bengawan, dapat dijumpai kaum pendekar. Pendekar dipandang sebagai orang yang digdaya dan berani.
Misalnya di Madiun, yang dialiri oleh Kali Madiun atau Bengawan Madiun, secara formal dikukuhkan sebagai Kampung Pendekar.
Pun demikian dengan Betawi, yang wilayahnya dialiri sungai Ciliwung, juga menyimpan kaum pendekar. Ini membuat Betawi dikenal sebagai kampung pendekar, karena memiliki banyak jagoan silat.
Surabaya juga demikian, yang kejayaan kaum pendekar Surabaya, yang buminya dialiri Kali Surabaya (Kalimas), bermertamorfosis menjadi arek arek Surabaya yang berani bertempur mulai dari era Trunojoyo, Jayapuspita hingga perang kemerdekaan.
Sìshuǐ (empat Air)

Dalam peradaban Tionghoa di Surabaya, Surabaya juga disebut Sìshuǐ, yang secara literatif berarti empat (Si) air (shuǐ). Artinya Sìshuǐ adalah kawasan yang dikelilingi oleh empat air (sungai). Sìshuǐ ini tidak lain adalah Kampung Pecinan yang kita kenal sekarang.
Di kawasan itu pada awal peradaban masyarakat Tionghoa dihuni juga oleh para pemberani. Mereka adalah warga Tionghoa yang berani mengarungi samudra luas, yang penuh dengan bahaya. Bukti akan keberanian itu adalah dibangunnya kuil Surabaya (Sìshuǐ Bio) dimana disana dipuja Dewa Mak Co Po dan Dewi Kwan Im karena telah memberikan perlindungan selama perjalanan dan selamat dari bahaya laut dan sungai. Mereka berani mengarungi samudra yang penuh bahaya.
Sekarang Sìshuǐ Bio atau Kuil Surabaya itu berdiri klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat.
Air
Air bisa menghidupi dan sekaligus mematikan. Air bisa menjadi bencana jika tidak dikelola dengan baik seperti menyebabkan banjir.
Karenanya haruslah bersikap ramah terhadap air. Misalnya air harus dibuatkan jalan yang cukup sebagai jalur aliran. Misalnya gorong gorong, sungai dan sungai kecil agar air bisa mendapatkan jalannya mencari jalur yang lebih rendah dan mengalir.
Syukurlah di Surabaya sudah dibangun banyak gorong gorong untuk menampung air dan mengalirkan air. Namun demikian jika curah hujan tinggi di beberapa kawasan masih juga ada genangan air.
Misalnya hujan deras yang terjadi pada Jumat malam (8/3/25) banjir terjadi di Jalan Mayjend Sungkono, Wonokromo, Jemursari, Jalan A Yani, Manukan, Banyuurip, Benowo, sampai di Jalan Kenjeran. Ketinggian air bervariasi di beberapa tempat. Ada yang menenggelamkan mobil.
Dengan keadaan itu maka masyarakatnya harus adaptif terhadap keadaan dan tidak boleh tinggal diam. Namun harus berupaya bersama, bergotong royong mengatasi datangnya tamu air. (PAR/nng)