Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Dahlan Iskan, tokoh media, pernah menjadi Pak Bos ketika saya masih bertugas sebagai jurnalis TV di group Jawa Pos. Kepada jurnalis, termasuk saya, Dahlan Iskan pernah berkata bahwa jika membuat (memfoto dan memvideo) gambar gedung harus diupayakan ada sosok manusia yang beraksi dalam frame. Aksi itu bisa berupa aksi sosial, ekonomi dan budaya. Tujuan adalah untuk menghidupkan sosok bangunan yang mati. Dengan aksi manusia, maka gambar bisa hidup dan bercerita.
Artis Australia
Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Tony Rafty, artis Australia ketika di Surabaya. Dalam gambar gambarnya, termasuk menggambar sudut sudut kota Surabaya, selalu memasukkan unsur manusia.

Misalnya sketsa suasana pertempuran di Surabaya, yang menggambarkan pejuang Indonesia yang gugur, adalah ciri khas karya Tony Rafty yang bertema Surabaya Kota Pahlawan.
Waktu itu Tony Rafty sedang mengadakan pameran di House of Sampoerna. Menurutnya melalui aksi manusia dalam gambar gambarnya sudah bisa menceritakan suasana, yang terjadi di sekitar gedung atau lokasi yang menjadi latar belakang gambar.
Sosok manusia dengan aktivitasnya memang menjadi subjek penting dalam karya fotografi, termasuk lukisan atau sketsa pemandangan, yang tujuannya untuk membantu mengungkapkan suasana, emosi dan ekspresi.
Surabaya Kaya Cerita
Surabaya dengan kawasan Kota Lama Surabaya sangat kaya akan cerita. Cerita cerita itu bisa dieksplorasi melalui aktivitas manusia dalam sebuah frame photo atau karya sketsa. Sebuah buku album sketsa “Kota Lama Surabaya” akan mengungkap dinamika sosial, ekonomi dan budaya. Tidak hanya sosok gedung gedung indah, yang menjadi latar belakangnya tetapi juga dinamika sosial budayanya.

Hanya membidik tampilan gedung saja tidak cukup karena akan menyajikan benda mati. Seorang sketser Surabaya, Budi A.N., membenarkan pentingnya sosok manusia dalam gambar sebagai pendukung suasana di sekitar gedung yang menjadi latar arsitektural.
“Menggambar sudut sudut kota perlu ada aktivitas manusia agar lebih hidup dan bercerita”, kata Budi sambil menunjukkan objek dan suasana sosial yang sedang di gambarnya.
Memang ketika menggambarkan indahnya, riuhnya, bermaknanya lingkungan Kota Lama Surabaya sangat perlu menampilkan dinamika sosialnya untuk menunjukkan bahwa kawasan itu memang ramai, bukan suasana mati.

“Misalnya ada gambar lalu lintas kendaraan dan gambar objek seperti manusia adalah sebagai perbandingan ukuran antara gedung, lingkungan dan manusia. Ini jadi natural”, jelas Budi, yang turut menghiasi diorama Tugu Pahlawan.
Gambar sosok manusia, yang berhidung mancung dengan gaya memanggul ransel, berarti wisatawan mancanegara. Ini menceritakan bahwa Kota Lama Surabaya dikunjungi wisatawan mancanegara.
Ada pula transportasi becak, yang menunjukkan bahwa di Surabaya masih ada angkutan tradisional. Masih banyak suasana sosial budaya yang menggambarkan dinamika Kota Lama Surabaya.
Peneliti KITLV Belanda
Seorang film dokumenter dan peneliti dari KITLV, Belanda, Fridus Steijlen, ketika merekam Jembatan Merah tidak lupa merekam pergerakan orang orang. Menurutnya suasana itu penting karena menyangkut budaya setempat. Bagaimana warga lokal berpakaian, jenis kendaraan yang berlalu lalang apa saja dan kebiasaan kebiasaan lainnya yang bisa direkam.
Film dokumenter ini penting bagi tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian dan kebudayaan. Rekaman ini dikemas dalam proyek “Recording the Future”. Project ini merekam perjalanan hingga 100 tahun ke depan. Jika terhitung mulai melakukan perekaman pada tahun 2000 berarti akan selesai pada tahun 2100. Ini berarti KITLV punya dokumentasi Surabaya mulai tahun 2000 hingga hingga 2100.
Inilah yang sedang dilakukan Budi bersama Puri Aksara Rajapatni dalam melakukan perekaman melalui karya sketsa. Bukan sembarang sketsa tapi sketsa, yang berbicara sejuta kata. (PAR/nng)