Rajapatni.com: Surabaya (27/5/24) – Ketika ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ Kampung Pecinan di Kembang Jepun Surabaya telah ditandai dengan Aksara Hanzi dan Kampung Eropa (Belanda) telah ditandai dengan nama nama jalan berbahasa Belanda, lantas dimanakah Kampung Jawa (pribumi) yang seharusnya ditandai dengan Aksara Jawa? Kota Surabaya memang heterogen dan multi etnis serta modern. Tapi penduduk lokalnya yang mayoritas etnis Jawa, perlu penanda dengan Aksara Jawa.
Disaat Aksara Jawa mulai diperkenalkan kembali ke ꦧꦸꦩꦶꦥꦼꦂꦠꦶꦮꦶ bumi pertiwi Surabaya dan disaat golongan etnis bermunculan kembali sebagai wahana kekayaan sosial budaya Surabaya, maka Surabaya tidak boleh lupa dengan aslinya.
Ini bukannya mengembalikan sifat sifat kedaerahan, tapi kesadaran akan kedaerahan sebagai kekuatan ꦏꦼꦧꦁꦱꦄꦤ꧀ kebangsaan adalah penting agar tidak tercabut dari akarnya. Berwarna tapi tetap satu. Berbeda beda tetapi tetap satu. Bhinneka Tunggal Eka. Keragaman harus kita sadari dan pelihara. Sekali lagi, bangsa kita berakar dari keragaman dan perbedaan. Sekarang, kembali lagi ke Surabaya.
Sekarang, dimana mana di kota Surabaya sudah terpasang tulisan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa. Aksara Jawa mewarnai Surabaya. Sebagai upaya untuk terus menggali sejarah dan mengenali peradaban nenek moyang di Surabaya, maka perlu mengenali dimanakah bangsa Jawa bermukim di kota ini pada masa lalu. Ada beberapa konsentrasi permukiman berdasarkan bukti bukti sejarah yang ada.
Konsentrasi etnis Pecinan berada di Daerah Jalan Karet dan sekitarnya. Lalu konsentrasi Eropa di ꦗꦭꦤ꧀ꦫꦗꦮꦭꦶ jalan Rajawali dan konsentrasi Melayu di jalan Panggung serta konsentrasi Arab di jalan KH Mas Mansyur.
Lantas Dimanakah Etnis Jawa Sebagai Tuan Rumah?
Dalam rangka revitalisasi Kampung atau ꦏꦺꦴꦠꦭꦩꦯꦸꦫꦨꦪ Kota Lama Surabaya, yang secara etnis dan historis pernah diklasifikasikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, menjadi konsentrasi etnis Eropa, Pecinan, Melayu dan Arab, lantas masuk akal kalau diketahui dimanakah konsentrasi etnis Jawa.
Sebetulnya jejak konsentrasi etnis Jawa di Surabaya itu masih dapat dikenali. Salah satunya di ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta, yang sekarang sudah menjadi Ampel Ampel lainnya. Dulu hanya satu Ampel, yang bernama Ampel Denta. Sekarang nama Ampel Denta sudah hilang kecuali menjadi nama sebuah penyiaran lokal yang ada di lingkungan Masjid Ampel. Nama dari sebuah penyiaran lokal “Ampel Denta”. Entah apakah penyiaran lokal ini masih beroperasi. Setidaknya namanya “Ampel Denta” menjadi memory kolektif.
Di Ampel Denta inilah tempat dimana Raden Rahmad beserta pengikutnya dari ꦠꦿꦺꦴꦮꦸꦭꦤ꧀ Trowulan mulai mendiami kawasan ini pada paruh pertama abad ke 15. Di tempat ini mereka berkumpul menjadi satu dengan pemukim yang telah berdiam di sini dengan tradisi dan keyakinannya.
Lahan Ampel Denta adalah pemberian ꦫꦗꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Raja Majapahit kepada Raden Rahmad untuk mengajarkan Islam. Disanalah akhirnya Raden Rahmad melalui masjid yang didirikan mengajarkan ajaran Islam. Ampel Denta adalah lahan perdikan yang terbebas dari pajak.
Dari temuan inskripsi beraksara Jawa pada salah satu gapura, ꦒꦥꦸꦫꦩꦸꦁꦒꦃ Gapura Munggah, yang berdiri menghadap ke Jalan Sasak, temuan ini menjadi bukti sarana komunikasi yang digunakan oleh peradaban kala itu. Yaitu di era Raden Rahmad pada abad ke 15. Aksara Jawa adalah sarana tulis dari bahasa yang digunakan. Yaitu bahasa Jawa.
Jelas bahwa pengguna bahasa dan Aksara Jawa adalah bangsa Jawa, yang tinggal di Ampel Denta. Maka jelasnya dimana Kampung Jawa itu. Yaitu di ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Ampel Denta.
Berseberangan dengan Ampel Denta, yang dipisahkan oleh Kali Pegirian, dimana kawasan Pesarean Agung Botoputih berada, juga terdapat sebuah kawasan yang diduga kuat adalah wilayah permukiman Jawa. Kawasan itu bernama ꦏꦼꦧꦺꦴꦤ꧀ꦝꦊꦩ꧀ Kebon Dalem, Botoputih dan Srengganan. Di kawasan itu juga ditemukan inskripsi beraksara Jawa. Tepatnya di Pesarean Agung Botoputih.
Ditempat inilah, khususnya di Ampel Denta yang namanya sudah terbagi bagi menjadi ꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦱꦸꦕꦶ Ampel Suci, Ampel Kembang dan masih banyak lagi kampung kampung Ampel lainnya, patut menjadi etalase Aksara Jawa sebagai penanda Kampung Jawa seperti halnya Aksara Hanzi (China) di kampung Pecinan Kembang Jepun dan Bahasa Belanda di Kampung Eropa. Misalnya nama jalan Mliwis diberi nama Belanda, Dwaar Boomstraat.
Mumpung ada momen mengenali jatidiri dan sejarah Surabaya dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Surabaya ke 731, bisakah ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦗꦮꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ꦝꦼꦤ꧀ꦠ Kampung Jawa Ampel Denta ditandai dengan penggunaan Aksara Jawa? (nanang PAR)*