Seri HJKS 731: Aksara Jawa dalam Bentuk Sengkalan di Sekolah Kristen Pirngadi Surabaya. 

Rajapatni.com: Surabaya (30/5/24) – Kawasan Bubutan Surabaya pernah menjadi ꦱꦏ꧀ꦱꦶꦧꦶꦱꦸ saksi bisu peristiwa bersejarah kota Surabaya sebagai kota Pahlawan. Di ujung selatan jalan ada bekas Penjara Koblen, Gedung Nasional Indonesia (GNI) dengan komplek penerbitan Panjebar Semangat, Kampung Bubutan sendiri, Kawatan dan satu lagi sekolahan Pirngadi yang tidak jauh dari Gereja.

ꦱꦼꦏꦺꦴꦭꦃꦥꦶꦂꦔꦣꦶ Sekolah Pirngadi adalah salah satu wujud peradaban kota, yang berbentuk sebuah lembaga pendidikan. Sekolahan ini sekarang terdiri dari KB/TK, SD, SMP dan SMA, yang dikelola oleh Yayasan Badan Pendidikan Pengajaran Kristen (BPPK) Pirngadi.

Dulunya adalah sebuah lembaga, yang mencetak tenaga pengajar (guru). Keberadaan lembaga pendidikan Guru ini sudah ada sejak era Hindia Belanda. Di Surabaya ada Kristelyke Kweek School (Sekolah Guru Atas) dan Kristelyke Leer School (Sekolah Calon Guru). Sementara di Sekolah ꦥꦶꦂꦔꦣꦶ Pirngadi di zaman itu berupa Kristelyke Kweek School (Sekolah Guru Atas).

Keberadaan lembaga pendidikan ini mencetak tenaga pengajar. Lulusannya selain bisa mengajar setingkat SD, juga bisa mengajar di tingkat atasnya. Yaitu SMP.

Namun dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini berubah menjadi sekolah pada pasca kemerdekaan. Yaitu menjadi lembaga sekolah yang bernama Pirngadi mulai dari tingkat TK, SD, SMP hingga SMA. Sekolah ini bersebelahan dengan sebuah gereja yang berdiri di Jl Bubutan, tepatnya di pojokan ꦗꦭꦤ꧀ꦧꦸꦧꦸꦠꦤ꧀ jalan Bubutan dan Pirngadi. Gereja GBIP.

Ada yang menarik dari ꦱꦼꦏꦺꦴꦭꦃꦏꦿꦶꦱ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦥꦶꦂꦔꦣꦶꦯꦸꦫꦨꦪ Sekolah Kristen Pirngadi Surabaya. Yaitu adanya sebuah prasasti yang bertulis aksara Jawa. Prasasti ini sudah ada jauh sebelum pemerintah Kota Surabaya membumikan Aksara Jawa di lingkungan pemerintah kota Surabaya.

Sengkalan di Sekolah Kristen Pirngadi Surabaya. Foto. nng PAR

Pada Rabu pagi (29/5/24), komunitas pegiat Aksara Jawa, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, mendatangi Sekolah Kristen Pirngadi yang berada di jalan Pirngadi untuk melihat dari dekat prasasti tersebut.

Setiba di sekolah Rajapatni disambut oleh Ketua Yayasan, ꦪꦸꦱꦸꦥ꦳꧀ꦩꦂꦠꦶꦤ꧀ Yusuf Martin dan staf sekolah Made Prenamia. Bersama mereka, riwayat sekolah mulai digali dan diketahui bahwa di era kolonial, sekolah ini dulunya adalah Kristelyke Kweek School (Sekolah Guru Atas). Lalu pada pasca kemerdekaan berubah menjadi lembaga sekolah Kristen yang bernama Pirngadi.

Tim Puri Aksara Rajapatni (Nanang dan Riri) ditemui Ketua Yayasan Yusuf Martin dan staf Made Prenamia. Foto: dok PAR

Baik Yusuf Martin dan ꦩꦣꦺꦥꦿꦼꦤꦩꦶꦪ Made Prenamia ketika mulai bertugas di sekolah ini ternyata sudah ada prasasti beraksara Jawa ini. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui sejak kapan prasasti itu ada dan apalagi pesan yang tertulis pada prasasti itu. Prasasti itu bertuliskan: “Pilar pilar bangsa yang berjiwa ꦔꦼꦱ꧀ꦛꦶꦩꦼꦂꦠꦄꦫꦸꦩꦶꦁꦗꦤ꧀ꦩ ngesthi merta aruming janma (1948), ꦩꦸꦭꦠ꧀ꦠꦿꦸꦱ꧀ꦲꦪꦸꦤꦶꦁꦥꦿꦠꦶꦮꦶ mulat trus hayuning pratiwi (1992)“.

Ada penanggalan yang menyertai. Yaitu angka tahun 1948 dan 1992. Menurut tim ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni,  Ginanjar Wijaya,

“ngesthi merta aruming janma, mulat trus hayuning pratiwi“ adalah sengkalan yang bermakna pujian.

Sengkalan adalah sandi penulisan tahun dengan kalimat, yang tiap kata merupakan perlambangan dari suatu angka.

Misalnya sengkalan “Ngesthi Merta Aruming Janma” sesuai dengan apa yang tertulis dalam prasasti itu bermakna angka tahun 1948. Sedangkan sengkalan lainnya yang berbunyi “Mulat Trus Hayuning Pratiwi” mengandung angka tahun 1992.

Prasasti berbentuk sengkalan dan sesanti. Foto: nng PAR. 

Menurut ꦒꦶꦤꦚ꧀ꦗꦂ Ginanjar sengkalan Ngesthi Merta Aruming Janma berarti 1918 dan Mulat Trus Hayuning Pratiwi berarti 1892.

“Ngesthi = 8; merta = 1; arum = 9; janma = 1, jadi kira-kira tahun 1918. Yang artinya memikirkan hidup harumnya manusia. Sedangkan mulat = 2/3; trus = 9; hayu = 8; pratiwi = 1, atau kira-kira taun 1892, yang artinya melihat secara seksama keselamatan bumi”, jelas Ginanjar.

Lepas dari perbedaan angka tahun dari yang tertulis pada prasasti (1948 dan 1992) dengan versi Ginanjar (1918 dan 1892), namun pemaknaan Bahasa dan Aksara Jawa itu adalah “Memikirkan Hidup Harumnya Manusia” dan “Melihat Secara Seksama Keselamatan Bumi”.

Kedua pemaknaan dalam bentuk sesanti itu memang sudah menjadi pemikiran pendahulu sekolah Kristen Pirngadi agar insan sekolah menjiwai dan menjadi ꦥꦼꦣꦺꦴꦩꦤ꧀ pedoman Sekolah dan murid muridnya.

Tetapi memang belum diketahui mengapa para pendahulu sekolah menggunakan sesanti itu yang dalam ꦱꦼꦁꦏꦭꦤ꧀ sengkalan, menurut sekolah, berarti angka tahun 1948 dan 1992. Angka tahun itu tentunya memiliki makna bagi sekolah.

“Ya, kami belum tahu apa makna angka tahun ini. Pastilah kedua angka tahun ini ada artinya. Kami sedang menyusun sejarah sekolah, termasuk memecahkan makna angka tahun ini”, pungkas Ketua Yayasan, Yusuf Martin. (nanang PAR)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *