Rajapatni.com: Surabaya (16/8/24) – “Eskul (red. ekstra kulikuler) kami namanya Satya Jawa pak, singkatan dari Sastra dan Budaya Jawa. Kita mulai berdiri sejak tanggal 2 bulan Juni 2024 tetapi mulai berjalan sejak tanggal 31 Juli 2024”, begitu penjelasan singkat dari Ketua ꦱꦠꦾꦗꦮ Satya Jawa, Muhammad Zhafran Prasatya, siswa kelas 11, SMAN 15 Surabaya. Usianya masih muda, sekitar 17 tahunan. Tapi kompetensi bahasa dan aksara Jawanya luar biasa.
Tata bahasa dan ꦠꦠꦠꦸꦭꦶꦱ꧀ tata tulis yang terbaca dari pesan pesan WhatsApp nya mencerminkan pribadinya. Ketika membaca pesan WAnya, bisa dinilai bagaimana kualitas siswa SMAN 15, yang beralamat di Dukuh Menanggal, Surabaya ini.
Anaknya sopan dalam bertutur bicara dan bertindak tanduk. Sikapnya juga menunjukkan sifat organisasi yang dipimpin di sekolahnya, ꦱꦠꦾꦗꦮ Satya Jawa (Sastra dan Budaya Jawa). Menurutnya, dalam wadah ekskul itu, anggotanya telah membiasakan diri berbicara dalam bahasa Jawa. Kompensasi bahasa Jawa itu mereka tunjukkan ketika menerima Rajapatni di sekolahnya.
Organisasi, yang secara efektif berjalan belum satu bulan ini, sudah berharap bisa mengenal ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ aksara Jawa dengan jumlah aksara yang lebih dari umumnya yang diajarkan secara formal di sekolah. Umumnya Aksara Jawa yang diajarkan di sekolah berjumlah 20 aksara.
Namun, dia dalam waktu dekat, dalam organisasi, ingin mendiskusikan dan ꦧꦼꦭꦗꦂ belajar aksara Jawa dengan jumlah aksara yang berjumlah 50 aksara.
Pendiri ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, Ita Surojoyo, mengapresiasi Satya Jawa SMAN 15 Surabaya yang memiliki rencana mengajak Rajapatni untuk berdiskusi mengenai aksara dengan 50 aksara.
Dalam aksara Jawa, selain ada aksara nglegana yang berjumlah 20, juga ada aksara murdha yang berjumlah 8.
Ita mencontohkan dan membedakan ꦄꦂꦠꦶꦏꦸꦭꦱꦶ artikulasi pada penggunaan Na pada kata “seleNdang” (ꦱꦼꦭꦺꦟ꧀ꦝꦁ) vs “saNtaN” (ꦱꦤ꧀ꦠꦤ꧀). Ada perbedaan posisi ujung lidah pada langit langit. Huruf “N” pada kata seleNdang, menyentuh langit langit tengah atau atas. Sementara huruf “N” pada kata saNtaN, ujung lidah menyentuh langit langit depan mendekati gigi.
“Na ꦤ masuk ꦣꦤ꧀ꦠꦾ Dantya yang pengucapannya ujung lidah mengarah ke gigi, tapi kalau ꦟ ujung lidah menyentuh langit langit. Zaman modern semua dipukul rata. Semua bunyi N dianggap sama maka semua hanya pakai Na ꦤ”, jelas Ita.
Ita menegaskan bahwa belajar aksara Jawa, yang aksaranya berjumlah 20, dampaknya adalah pembelajar akan menemui kesulitan dan bahkan tidak bisa membaca ꦩꦤꦸꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀ manuskrip yang aksaranya masih lengkap yang umumnya ditemukan di naskah naskah kuno.
ꦅꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo, pendiri Puri Aksara Rajapatni, menghargai dan salut kepada kegiatan Ekstrakurikuler SMAN 15 Surabaya, yang sudah mau belajar aksara Jawa yang terdiri dari 50 aksara. (PAR/nng).