Rajapatni.com: SURABAYA – Masakan rawon memang sudah populer di Jawa Timur. Bahkan nama rawon sudah didengar di manca negara. Ketika penulis berada di Kota Amsterdam, Belanda (2023), penulis sempat makan rawon di sebuah restoran yang diberi keterangan Black Soup. Warnanya memang hitam, yang dihasilkan dari bahan dapur, kluwek.
Kluwek merupakan bahan dapur yang sangat populer untuk masakan tradisional (Nusantara) dan tidak tergantikan untuk beberapa masakan di Indonesia, seperti rawon. Warna hitam rawon adalah karena kluwek.
Sudah banyak warung warung hingga kedai dan restoran berbintang di Surabaya menawarkan masakan rawon. Selain warna kuahnya yang khas hitam, makanan ini berisi potongan daging sapi kotak kotak kecil. Di beberapa tempat, rawon juga dikombinasi dengan campuran sayur manisah, pepaya muda atau labu yang dipotong kotak kotak kecil seukuran potongan daging.
Sayang tak satupun penjual hidangan rawon yang menyadari bahwa rawon sudah dikenal di era sebelum Kerajaan Majapahit. Berdasarkan sebuah prasasti, yaitu prasasti Taji (901 M), masakan rawon ini bernama “rarawan”, yang karena evolusi pengucapan kemudian disebut “rawon”.
Prasasti ini ditemukan di Dukuh Taji, Desa Gelanglor, Sukorejo Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1868 dengan angka tahun 823 Saka atau 901 Masehi. Tahun 901 adalah dimasa Kerajaan Mataram Kuno sebelum berdirinya Kerajaan Kahuripan, lalu Jenggala, Singasari dan Majapahit.
Jadi, Prasasti Taji (901 M) dikeluarkan pada 823 Saka, tepatnya pada tanggal 8 April 901 Masehi, oleh Rakryan i Watu Tihang pu Sanggramadurandara untuk meresmikan sebuah Kabikuan bernama Dewasabha, yang terletak di desa Taji atas perintah Srī Mahārāja Rake Watukura Dyah Balitung. Dyah Balitung memerintah dari tahun 899 hingga 911. Pada masa itu masakan Rawon ternyata sudah menjadi hidangan para tamu yang hadir pada suatu upacara penghormatan kepada Sang Hyang Vatu Sima.
“392 orang hadir untuk upacara penghormatan Sang Hyang Vatu Sima. Dalam upacara disembelih 6 ekor kerbau untuk para warga. Hadir pula warga dari 7 desa tetangga. Semua warga diberi hadiah berupa makanan beraneka ragam dari daging hingga ikan laut, keris, kain, dan emas. Dalam acara diadakan tari tarian, makan bersama, kemudian doa pengusiran roh jahat oleh pendeta.” demikian dikutip dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Taji.

Kini di Surabaya hadir kedai rawon “Rawon Loka”, yang tidak hanya menyajikan cita rasa di lidah, namun juga wawasan kesejerahan. Rawon Loka menghadirkan kisah cerita rawon dan budaya Nusantara nenek moyang. Tidak lain adalah budaya literasi tradisi. Yaitu makanan dan Aksara.
Secara historis Prasasti ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuna dalam bahasa Sansekerta. Sebagai turunan Aksara Jawa Kuna (Kawi) adalah Jawa Baru (Carakan) yang kita kenal sekarang. Aksara Jawa Carakan inilah yang turut menghiasi nama Rawon Loka.
Untuk mengenal jejak sejarah rawon, Rawon Loka, yang berlokasi di Jalan Raya Unesa di komplek Unesa Surabaya Barat, kedai ini disertai dengan penggunaan Aksara Jawa untuk papan nama dan narasi sejarah singkat tentang rawon.
Edwin Eko Wibowo, pengelola Rawon Loka, ingin mengajak penikmat rawon tidak hanya memanjakan lidah tetapi juga mengenal sejarah singkat rawon dan budaya Jawa dalam hal masakan Nusantara.


“Rawon itu masakan Nusantara yang sudah dikenal sejak abad X dan bagaimana kisahnya, maka di Rawon Loka ini juga menambahkan menu untuk dicerna sebagai wawasan”, pungkas Edwin, putera tunggal, Setia Budhijanto, pegiat seni budaya yang tergabung di Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Timur. (PAR/nng)
Harus kita lestarikan dan tidak lupa juga untuk dipelajari… sebagai sebuah kekayaan budaya…
Uri-2 budaya…
Luar biasa ternyata sejarah Rawon sejak 823 Rawon sudah diramu oleh leluhur dan menjadi sajian tamu – tamu terhormat Raja”
Semoga *RAWON LOKA* sukses..👍