Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Rapat Pansus DPRD Kota Surabaya tentang Raperda Pemajuan Kebudayaan dan Nilai Kepahlawanan Kota Surabaya pada Senin siang (17/3/25) berjalan dinamis. Penuh diskusi konstruktif. Ini karena adanya usulan agar dimasukkannya Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan di Surabaya dan dikembalikannya diksi Kejuangan dalam Raperda.

Usulan ini disampaikan oleh Nanang Purwono, Ketua Puri Aksara Rajapatni, komunitas terundang dalam pembahasan Raperda. Komunitas lainnya adalah Begandring Soerabaia dan dua camat, yang wilayahnya kaya akan sejarah dan budaya. Yaitu Camat Genteng dan Krembangan.
Sebagaimana diketahui bahwa Aksara (daerah) selama ini belum secara eksplisit tersebut dalam aturan hukum seperti pada Undang Undang 5/2017. Di sana memang ada Bahasa sebagai salah satu dari 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK).
Sementara aksara tidak ada. Meski di dalam object Bahasa ada uraian tentang simbol dan isyarat Bahasa, tetapi tidak mengatakan dengan jelas Aksara, contohnya Aksara Jawa. Dikhawatirkan pemaknaan dan arti isyarat bahasa ini bisa multi tafsir dan ambigu. Bisa saja isyarat itu diartikan huruf alfabet A sampai Z untuk menuliskan bahasa. Padahal dalam hal ini, yang dimaksud, adalah Aksara Jawa untuk wilayah Surabaya khususnya. Bahasa adalah bentuk sistim komunikasi lisan. Sementara aksara adalah bentuk tulisnya.

Nanang lebih lanjut menjelaskan bahwa aksara Jawa sudah ada di Surabaya sejak ratusan tahun lamanya dan bukti bukti itu masih ada di lokasinya masing masing alias in situ.
“Ada inskripsi aksara Jawa di Gapura Ampel. Ada prasasti beraksara Jawa di Masjid Kemayoran. Ada nisan bertulis aksara Jawa di komplek pemakaman para bupati Surabaya di Pesarean Sentono Agung Botoputih Pegirian dan ada mata uang koin dari zaman Hindia Belanda yang beraksara Jawa bertuliskan Surapringga keluaran Surabaya”, jelas Nanang.
Tetapi justru di masa kemerdekaan, pengguna aksara Jawa semakin hilang. Mengingat menurunnya pengguna aksara Jawa, Luthfiyah, salah satu anggota Pansus, berharap aksara Jawa bisa dikurikulumkan di sekolah sekolah.
“Saya dulu mengerti aksara Jawa mulai Ha Na Ca Ra KA hingga Nga. Sekarang ingat ingat lupa. Nanti dalam pertemuan lanjutan kita undang Dinas Pendidikan”, kata Luthfiyah, yang berharap agar aplikasi dan implementasi Object Object kebudayaan dalam Raperda ini bisa maksimal.
Karenanya, pinta Nanang, untuk Raperda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya, aksara Jawa bisa terwadahi dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan Kota Surabaya.
Kejelasan akan adanya aksara Jawa akan memberikan arah perlindungan, pengembangan dan pelestarian serta pemanfaatan aksara Jawa, apabila diterjemahkan ke dalam aturan di bawahnya, misalnya Peraturan Walikota (Perwali).
Dengan demikian implementasi di bawah Perda akan punya cantolan hukum yang jelas dan kuat agar penjabaran dan implementasi juga jelas dan tepat sasaran.
Usulan Kejuangan

Bahasan menarik lainnya adalah ketika diksi Kejuangan diusulkan bisa masuk dalam Raperda, sehingga Raperda berbunyi dan berjudul “Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya”. Menurut Nanang pada awal mula diinisiasi, Raperda itu berjudul seperti itu..
“Pada awal raperda ini diinisiasi, saya sudah terlibat sebagai mitra diskusi inisiatornya, pak Thony. Raperda itu berbunyi Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya.
Ketika Raperda ini masuk pembahasan di Pansus DPRD, kata Kejuangannya kok tidak ada. Terima kasih saya diundang, sehingga saya bisa menyampaikan untuk dimasukan kembali”, jelas Nanang kepada tim Pansus Raperda Pemajuan Kebudayaan kota surabaya.
Sempat disampaikan Luthfiyah bahwa mungkin makna Kepahlawanan itu sudah mencakup Kejuangan. Lantas Luthfiyah meminta untuk dijelaskan perbedaan antara Kejuangan dan Kepahlawanan.
Dijelaskan oleh Nanang bahwa Kejuangan, yang berasal dari kata juang, berjenis kata kerja, mengandung tindakan dan upaya semaksimal mungkin untuk meraih tujuan dan cita cita. Sementara Kepahlawanan adalah sifat yang dimiliki oleh pahlawan, orang yang telah berjuang (berjasa) mewujudkan cita cita untuk kepentingan umum dan bangsa. Siapapun pahlawan pasti melewati masa berjuang untuk merebut (meraih) cita cita.
Karenanya, menurut Nanang, Nilai Kejuangan harus dijabarkan dalam Raperda sebagai cara dalam mewarisi perjuangan para pahlawan.
“Anak sekolah belajar dengan giat dan tekun adalah bentuk perjuangan supaya bisa lulus dengan nilai memuaskan. Pun demikian dengan ibu hamil bahwa merawat kehamilannya juga upaya perjuangan agar melahirkan bayi yang sehat dan berkualitas”, jelas Nanang
Untuk lebih mendetailkan dan menguatkan pemaknaan Kejuangan dan Kepahlawanan, Ketua Pansus Zuhrotul Mar’ah akan mengundang dan minta penjelasan dari inisiator Raperda, A Hermas Thony, dan ahli bahasa dalam pertemuan lanjutan. (PAR/nng).