Sejarah Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Banyak orang mengira Gedung Singa di jalan Jembatan Merah Surabaya adalah bangunan bergaya kolonial. Tidak terlalu salah karena gedung, yang resmi bernama De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente, dibangun pada masa pendudukan Belanda di Surabaya.

Gedung ini secara arsitektur memang berbeda dari lainnya. Dibangun pada 1901 dengan perancangan oleh tiga artis. Yaitu arsitek HP Berlage, pematung Mendes da Costa dan pelukis keramik Jan Toorop. Hasilnya adalah sebuah karya arsitektur yang luar biasa di zamannya.
Ketika semua bangunan beraksentuasi pilar pilar silinder pada bagian teras dan didominasi dengan warna monokrom, Gedung Singa di awal abad 20 sudah bermain corak desain dan warna. Modern.
Tidak hanya warna putih dan hitam, tetapi sudah warna warni seperti pada material batu bata merah ekspos, ditambah lukisan keramik pada fasad bagian atas. Permainan kayu ukir pada kusen dan daun pintu memberi tambahan warna natural.

Menurut Petra Timmer, seorang pegiat arsitektur dan heritage Belanda, khususnya karya karya HP Berlage, bahwa dalam sebuah presentasi yang berjudul “New Perspective on Berlage’s, yang diadakan pada Oktober 2024, berpandangan bahwa Gedung Singa bercorak Nusantara. Ada gaya Jawa dan Toraja.
“This part is the one that I didn’t see before. I found it just two months ago and it surprised me” jelas Petra tentang gaya dalam penyelesaian dari bagian atas gedung (mahkota).
Berdasarkan hasil risetnya bersama Tim Berlage di Nusantara terungkap bahwa Gedung Singa ini mengandung konten nusantara.
Apa yang Petra dapatkan dalam hasil riset sementara adalah bahwa pada bagian atas gedung (mahkota) itu seperti pada kusen kusen dormer dan lisplang terdapat hiasan hiasan seperti umumnya rumah rumah adat di Tanah Toraja. Selain hiasan dengan cat yang berwarna warni, pada bentuk kusennya, adalah model arsitektur Jawa. Ada perpaduan local genius Nusantara.
Selain itu, konsep tata ruang eksterior fasad dari kaki ke mahkota sekilas menggambarkan pesan simbol Tiga Teras Berundak, yang umumnya menjadi filosofi Hindu Jawa. Konsep tiga berundak ini umum ditemukan pada tata ruang situs percandian di Gunung Penanggungan, komplek pemakaman para wali dan tata ruang yang masih diterapkan di tradisi Bali.
Petra mendapatkan image tradisional Nusantara pada bangunan ini dari beberapa potret lama. Ornamen pewarnaan pada gedung seperti gaya dan warna rumah rumah Toraja di Sulawesi.
Petra juga mengungkapkan data dan fakta mengenai proses pembangunan gedung. Data, yang diperoleh Petra adalah bahwa daftar para pekerja gedung, ternyata menggunakan tenaga kerja lokal mulai dari kuli, tukang kayu, tukang bangunan hingga mandor bangunan. Tenaga supervisi masih dipegang orang orang Belanda untuk memastikan hasil bangunan sesuai dengan perencanaan yang dibuat Berlage sebagai arsiteknya
Sentuhan tradisional ini menggambarkan apresiasi seni dan tradisi Berlage terhadap Nusantara. Ini terbukti dari sketsa sketsa yang dibuat Berlage ketika berkunjung ke Nusantara pada 1923. Ketika di Surabaya, Berlage membuat sketsa tentang kampung Pecinan, kampung Arab dan sungai Kalimas.
Karenanya Petra Timmer dan Tim Berlage di Nusantara menerbitkan buku dalam rangka peringatan 100 tahun Berlage di Nusantara.
Ketika orang asing sudi mengabadikan keindahan Surabaya dalam sketsa, maka Surabaya yang memiliki sketser sketser potensial tidak mau kalah. Eksotika kota lama Surabaya menjadi inspirasi untuk mendokumentasikan dalam karya sketsa. (PAR/nng)