Sejarah Budaya:
Rajapatni.com: SURABAYA – Seorang kawan pemerhati sejarah Surabaya, almarhum Eddy Samson, sering menyebut istilah “Eigendom verponding” ketika berdiskusi tentang sejarah Surabaya. Maklum almarhum, yang pernah sebagai ketua “Tim 11 Von Faber”, adalah salah satu pengurus di yayasan Versluis Surabaya. Begitu pengakuan almarhum Eddy Samson, yang merupakan peranakan Indo Belanda.
Versluis (Indonesia) dahulu disebut Administratie Kantoor Versluis NV, yang ditunjuk untuk menyimpan data-data pemilikan-pengelolaan aset (tanah dan bangunan), yang ditinggal pemiliknya pulang ke negara asal (Belanda).
Kala itu Eddy Samson berkantor di gedung di depan gedung BPN (Loge Gebow) di jalan Tunjungan. Dari Eddy lah kerap terdengar istilah Eigendom. Menurutnya banyak aset di Surabaya yang berstatus eigendom.
Eddy Samson ngurusi surat surat eigendom dan menjadi perantara dengan ahli waris yang tinggal di Belanda. Eddy memang fasih berbicara bahasa Belanda. Sekarang Eddy sudah tiada.
Eigendom Verponding
Pernahkan Anda mendengar Eigendom Verponding? Istilah ini sangat familiar karena seringkali disebut-sebut ketika muncul pemberitaan soal sengketa tanah atau agraria. Sesuai namanya, istilah Eigendom merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda. Karenanya di gedung gedung tua, umumnya tertempel plakard bertuliskan “Verp” yang disertai nomor. Verp singkatan dari verponding.
Eigendom verponding adalah salah satu produk hukum (surat atau akta) terkait dengan pembuktian penguasaan atau pengelolaan tanah yang dibuat sejak era Hindia Belanda.

Eigendom verponding ini seperti SHM (surat hak milik). Eigendom keluar di zaman pemerintahan Hindia Belanda. SHM keluar di masa pemerintahan Republik Indonesia. Surat eigendom verponding bisa dikonversikan sesuai zaman menjadi SHM sebagai bentuk penguasaan dan kepemilikan atas tanah di era pemerintahan Republik Indonesia.
Karena tanah dan bangunan itu merupakan peninggalan dari masa penjajahan, sering kali terjadi sengketa atas tanah (agraria). Pasalnya ada pihak, yang mengaku ahli waris dengan memegang surat eigendom. Dengan modal itu, pihak itu bermaksud untuk menguasai atas tanah dan bangunan (Persil) di suatu daerah.
Kata eigendom merupakan istilah yang ada di dalam hukum perdata barat (Belanda), yang berarti hak milik. Eigendom berasal dari kata “eigen” yang berarti pribadi atau diri dan “dom” yang berarti hak milik. Secara keseluruhan, “eigendom” mempunyai arti kata “hak milik pribadi”.
Konversi
Sebelumnya, dasar hukum tentang eigendom telah diatur di dalam ketentuan pada Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Kemudian dasar hukum tersebut dicabut dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur tentang dasar-dasar penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional, termasuk di dalamnya mengatur tentang konversi.
Pengertian konversi hak atas tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA (dalam hal ini, hak eigendom) untuk masuk dalam sistem yang diatur dalam UUPA, yakni kegiatan menyesuaikan hak-hak atas tanah lama (eigendom) menjadi hak-hak atas tanah baru (SHM) yang dikenal dalam UUPA.
Singkatnya konversi hak atas tanah adalah mengubah status hak atas tanah dari hak penguasaan atau pengelolaan (eigendom) menjadi hak milik (SHM). Namun, siapapun pemegang surat eigendom, yang akan mengkonversikan menjadi SHM, haruslah sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.
Menurut Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 mengatur bahwa:
“Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah, yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa: bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.”
Pernyataan tentang kebenaran pemohon adalah penting dan menjadi penentu diterima atau tidaknya pendaftaran oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Karena objek agraria ini sering menjadi sengketa, maka siapa memalsukan data akan dijerat pasal 264 KUHP yang berbunyi: “berlaku untuk pemalsuan dokumen resmi, seperti akta otentik atau surat utang dengan ancaman pidana penjara maksimal 8 tahun”. (PAR/nng).