Rajapatni.com: Surabaya (5/5/24) – DALAM rangka memajukan aksara Jawa (pemajuan kebudayaan pada objek aksara Jawa), ada langkah strategis, yang digagas olèh Komunitas ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni. Dalam sebuah diskusi budaya antar pengurus Rajapatni yang dihadiri Penasehat AH Thony, pendiri Ita Surojoyo, Ketua Nanang Purwono dan seniman pengajar aksara Jawa Wiji Utomo di Kedai 27 Surabaya, muncul gagasan untuk menguatkan penggunaan Aksara Jawa sebagai label verifikasi produk berkomponen lokal di wilayah dimana secara kultural dan historis Aksara Jawa itu dipakai.

Aksara Jawa adalah bagian dari aksara ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara, dimana aksara aksara lokal lainnya seperti Aksara Bali di wilayah Bali, aksara Sunda di wilayah Sunda, dan aksara Jawa, ya di wilayah Jawa.
Menurut AH Thony, aksara aksara itu digunakan sebagai aksara resmi label lokal untuk produk barang yang diproduksi di daerah daerah itu. Aksara itu sendiri adalah simbol dari kedaerahan tersebut. Karena produk barang dan jasa di Indonesia itu tersebar di daerah daerah di Indonesia, maka seiring dengan upaya pemajuan aksara daerah sebagai ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Aksara Nusantara bisa bersama sama mendorong penggunaan komponen lokal (daerah).
Jika aksara daerah itu dikaitkan dengan komponen dan ꦥꦿꦺꦴꦣꦸꦏ꧀ꦝꦌꦫꦃ produk daerah, maka sesungguhnya kedua nya ini sudah layak untuk saling mendukung dan menguatkan.
Jika produk barang dan makanan sejauh ini sudah bersertifikasi (berlabel) halal untuk menunjukkan kepada masyarakat atau konsumen agar dapat dengan mudah mengetahui bahwa produk yang mereka konsumsi sudah terjamin kehalalannya. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan benar-benar halal dan terpercaya, sertifikasi halal menjadi hal yang wajib dan tidak boleh diabaikan. Adapun stempel sebagai tanda bahwa produk itu halal, disana dipakai ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦄꦫꦧ꧀ aksara Arab yang berbunyi halal.
Sesungguhnya hal yang sama dengan upaya pemerintah, yang ingin memastikan apakah produk ꦧꦫꦁꦣꦤ꧀ꦗꦱ barang dan jasa itu sudah memenuhi ketentuan TKDN. TKDN merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, yang bertujuan untuk memberdayakan Industri dalam negeri dan memperkuat struktur Industri. TKDN ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 32 Tahun 2020.
“Besarnya ꦏꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦴꦤꦺꦤ꧀ komponen lokal yang digunakan sesuai dengan peraturan yang ada adalah minimal 30 persen dan ini adalah kewajiban karena merupakan langkah pemerintah dalam Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN)”, kata Thony.
Karenanya perlu ada lembaga atau badan yang menilai apakah produk barang dan jasa itu telah memenuhi ketentuan. Lembaga ini adalah ꦧꦣꦤ꧀ꦱꦺꦂꦠꦶꦥ꦳ꦶꦏꦱꦶꦤꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ Badan Sertifikasi Nasional seperti Sucofindo atau Lembaga Sertifikasi lainnya yang berkompeten.
“Badan ini bertanggung jawab untuk menilai apakah suatu produk telah dinilai layak dan lolos verifikasi kandungan komponen lokal. Jika layak maka mereka berhak atas ꦱꦺꦂꦠꦶꦥ꦳ꦶꦏꦠ꧀ Sertifikat yang menyatakan bahwa produk barang dan jasa itu lolos verifikasi kandungan komponen lokal”, tambah Thony.
Jika produk halal menggunakan aksara Arab. Maka produk ꦭꦺꦴꦏꦭ꧀ lokal yang mengandung komponen lokal, bisa diberi label yang menggunakan Aksara lokal. Ini tergantung dimana barang dan jasa itu diproduksi. Amrih Setya Prasaja, aktivis Aksara Jawa di Yogyakarta, setuju dengan gagasan pemajuan Aksara dengan dikaitkan sama semangat TKDN. Bahkan salah seorang pegiat di Lamongan, menurutnya, sedang mengurus TKDN untuk produk aksara dan keyboard aksara Nusantara.

“Jika diproduksi di Jawa, ya menggunakan Aksara Jawa. Jika di Bandung, ya menggunakan aksara Sunda. Begitu pula jika diproduksi ꦧꦭꦶ Bali, maka layak menggunakan aksara Bali”, pungkas Thony.
Dengan begitu maka aksara aksara lokal di daerah bisa ꦠꦸꦩ꧀ꦧꦸꦃ tumbuh seiring dengan berkembangnya produk barang dan jasa di daerah. (Nanang PAR).*
Setuju.
Dimana bumi dipijak ,disitu langit kita junjung.