Sejarah:
Rajapatni.com: SURABAYA – Ada dua jalan besar yang membujur Utara – Selatan di Surabaya pada masa lalu. Bahkan hingga sekarang. Yaitu jalan Raya Darmo (Darmo Boulevard) dan Jalan Arjuna yang bersambung ke jalan Raya Diponegoro (Reinierz Boulevard). Ujung selatan dari kedua jalan ini bertemu di kawasan Wonokromo, Surabaya sisi selatan.
Sebelum ujung selatan dari kedua jalan ini: Darmo dan Arjuno-Diponegoro bertemu, keduanya dihubungkan (terkoneksi) dengan jalan Pandegiling (dulu Tamarinde Laan), yang membujur Timur-Barat. Jalan Pandegiling (Tamarindelaan) sendiri adalah bagian dari kawasan subur (lahan hijau) Pandegiling. Memperhatikan peta peta lama Surabaya, kawasan Pandegiling adalah lahan hijau agraris.

Ini terbukti bahwa di kawasan ini, dulunya, pernah ada kebun tebu untuk mensuplai pabrik gula, yang pernah berdiri di sekitarnya. Sehingga diduga kuat bahwa lahan agraris Pandegiling ini berupa lahan perkebunan tebu.
Umumnya, Jika ada pabrik gula, biasanya ada sungai sebagai sumber kebutuhan air. Di kawasan Pandegiling ini (bukan jalan Pandegiling) memang dialiri (dilewati) sungai kecil, yang bernama Kali Pandegiling. Nama ini tertulis pada peta lama. Hingga sekarang kali itu masih ada, mengalir sejajar dengan jalan Kupang Segunting I, yang bisa diamati dari jalan Pandegiling sekarang.

Menilik nama Pandegiling, “Pandegiling” sendiri berasal dari dua kata “pande” dan “giling”. “Pande” dalam konteks Jawa kuno merujuk pada makna seseorang yang ahli dalam mengolah logam, seperti besi, menjadi berbagai macam alat dan benda, seperti senjata, alat pertanian, dan peralatan upacara. Lantas secara umum, pande diartikan sebagai orang yang pekerjaanya membuat peralatan seperti alat pertanian.
Sementara “giling” (gilingan) adalah alat untuk menggiling. Dalam kontek menggiling tebu adalah memeras tebu karena tebu bisa digiling atau diperas untuk menghasilkan nira atau jus tebu.
Nira adalah cairan manis yang diperoleh dari batang tanaman seperti tebu, kelapa, aren, dan tanaman dari keluarga palma, yang merupakan bahan baku utama untuk membuat gula dan minuman manis.
Giling Tebu
Bisa diduga bahwa di kawasan Pandegiling pada zaman dahulu banyak warga setempat, yang pekerjaannya membuat gilingan tebu untuk produksi gula.

Bisa dibayangkan pula bahwa kiranya dibutuhkan banyak gilingan tebu agar bisa menghasilkan nira sebagai bahan pembuatan gula atau pemanis. Maka konsekuensinya diperlukan banyak orang pembuat gilingan.

Namun, dalam hal ini, tidak berarti bahwa banyak orang yang membuat alat giling. Tapi diduga disana banyak warga, yang aktivitasnya menggiling tebu yang kemudian hasilnya (nira) disetorkan ke pabrik gula.
Bisa jadi pabrik gula ini masih tradisional karena alat penggilingan berupa hasil buatan warga lokal. Yaitu berupa alat giling yang terbuat dari sepasang batu andesit berbentuk silinder, yang digerakkan oleh tenaga binatang (sapi atau kerbau). Jadi bukan pabrik gula, yang sudah menggunakan peralatan mesin seperti mesin tenaga uap, yang menggerakkan roda roda gila untuk menggiling dan memeras tebu.

Aktivitas warga menggiling dan memeras tebu secara parsial dan manual ini bagai orang memerah sapi, yang susunya kemudian disetorkan ke pabrik susu. Itulah dugaan gambaran masyarakat di Pandegiling tempo dulu. Proses tradisional ini serupa dengan yang ada di Desa Kluncing Kecamatan Licin di lereng gunung Ijen dimana warga mengirimkan hasil sadap aren ke suatu tempat, yang kemudian jus aren ini dimasak untuk dibuat gula aren.

Begitu pulalah kira kira kondisi alam dan masyarakatnya di kawasan Pandegiling Surabaya pada masa lalu. Apalagi keberadaan mereka ini didukung oleh pernah adanya stasiun trem Groedo. Keberadaan angkutan rel ini menunjukkan pernah adanya potensi ekonomi, yang tidak lain adalah gula.
Itulah mengapa kawasan Pandegiling pada peta peta lama Surabaya terarsir warna hijau. Hijau berarti kawasan perkebunan yang subur dan ekonomis. (PAR/nng)
Bagus
Sejuk
Menarik sekali …. ditunggu artikel selanjutnya tentang Kota Surabaya
Sangat menarik, nga terbayang pernah ada kebun tebu di kota Surabaya