Rajapatni.com: Surabaya (20/5/24) – BERDASARKAN Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 64/WK/75, tanggal 18 Maret 1975 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Surabaya pada 31 Mei 1293 bahwa pada masa itu Surabaya masihlah berbentuk sebuah desa kecil di tepian sungai, ꦤꦣꦶꦠꦶꦫꦥꦿꦣꦺꦱ Naditira pradesa. Berikutnya nama desa kecil itu secara otentik diketahui bernama Surabaya sebagaimana tersebut dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Canggu (1358 M).
Di kedua masa, 1293 dan 1358, adalah masa masa klasik, kerajaan. Bahkan ketika bangsa Eropa masuk Nusantara pada awal abad 17, termasuk masuk Surabaya, sistem pemerintahan klasik masih mewarnai Surabaya. Pemerintahan klasik itu adalah pemerintahan pribumi, yang dipimpin baik itu oleh ꦄꦣꦶꦥꦠꦶ adipati maupun bupati. Mereka adalah orang orang pribumi dengan wilayah yang disebut Kadipaten dan Kabupaten.
Sementara, pemerintahan kolonial pada masa berikutnya dikepalai oleh warga ꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Belanda dengan wilayah administrasi yang disebut Residensi dan Gemeente. Residensi dikepalai oleh seorang residen dan Gemeente dikepalai oleh burgermaster dan mayor (walikota).
Sekarang pada pasca kemerdekaan, di wilayah Surabaya, sistem pemerintahannya bernama kota, yang dikepalai oleh seorang walikota.
Dari kronologi peradaban pemerintahan di atas, dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya telah berganti ganti dari zaman ke zaman mulai dari Kadipaten, Kabupaten, Kotamadya dan akhirnya Kota.
Setiap pemerintahan memiliki ꦥꦼꦫꦣꦧꦤ꧀ peradaban dan tata cara dalam menjalankan sistemnya. Salah satu cara itu adalah alat komunikasi, yang digunakan untuk kontak kontak sosial dan budaya. Termasuk kontak ekonomi.
Alat komunikasi itu adalah bahasa (lisan) dan aksara (tulis). Bahasa dan Aksaranya adalah Jawa. Ini adalah alat komunikasi sebelum bangsa Eropa (Belanda) masuk Nusantara termasuk Surabaya dan selanjutnya mengenalkan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦭꦠꦶꦤ꧀ Aksara Latin dengan bahasa Belanda dan selanjutnya Melayu, kini Indonesia.
Dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Surabaya ke 731, Tim ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni melacak sejarah peradaban Surabaya yang terkait dengan literasi Aksara Jawa. Peninggalan Literasi ini masih dapat disimak hingga sekarang karena masih membekas.
Sementara Bahasanya sudah tidak bisa dilacak, karena bersifat lisan tapi bahasanya dapat dikenali karena disimbolkan pada ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa. Maklum, tidak ada rekaman untuk bisa menjadi bukti bahwa bahasa yang pernah dipakai di Surabaya adalah Bahasa Jawa. Tapi dari Aksaranya dapat diketahui karena aksara itu berbunyi bahasa Jawa.
Berbeda dengan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Aksara Jawa, yang bersifat tulis dan karenanya masih bisa dilihat peninggalannya. Peninggalan itu dalam bentuk prasasti dan inskripsi. Jadi di Surabaya memakai bahasa Jawa secara lisan dan Aksara Jawa secara tertulis.
Jelajah Peradaban Aksara Jawa
Untuk melihat dari dekat dan mengetahui apa isi dari aksara Jawa bentuk prasasti dan inskripsi itu, maka tim ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni menjelajah ke berbagai situs dimana jejak itu masih bisa dilihat. Tim Rajapatni yang turun ke lapangan itu adalah Wiji (guru Aksara dan Seniman) dan Nanang (ketua).
Mereka menjelajah tempat tempat itu pada Minggu pagi (19/5/24) yang dimulai dari Masjid Kemayoran di ꦗꦭꦤ꧀ꦆꦤ꧀ꦝꦿꦥꦸꦫ jalan Indrapura, Surabaya. Di dalam masjid inilah sebuah prasasti beraksara Jawa berbahan logam tembaga dan kuningan berada. Inskripsi ini menceritakan tentang pembangunan masjid pada 1840-an.
Prasasti ini tertempel pada dinding masjid bagian dalam. Sebagian inskripsi nya berbunyi bahwa masjid ini adalah pemberian pemerintah ꦲꦶꦤ꧀ꦝꦶꦪꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Hindia Belanda kepada Bangsa (umat) Islam yang bertanda tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Residen Surabaya dan Bupati Surabaya.
Setelah dari ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦏꦼꦩꦪꦺꦴꦫꦤ꧀ Masjid Kemayoran, perjalanan bergeser ke Masjid Ampel, khususnya pada salah satu gapura yang bernama Gapura Munggah. Gapura ini salah satu dari 5 gapura yang masing masing pada bagian badan gapura terdapat relief. Khususnya pada gapura Munggah yang menghadap jalan Sasak terdapat inskripsi Aksara Jawa pada bagian struktur blandar kayu. Pernah dibaca oleh pihak Mpu Tantular yang diterjemahkan artinya barangsiapa melewati gapura ini dilindungi Allah.
Sayang tulisan Aksara Jawa ini sudah aus karena tertumpuk cat yang melapisi tampilannya. Meski demikian, bentuk aksaranya masih terlihat jelas.
Tempat berikutnya adalah Pasarean Agung Sentono Botoputih di jalan Pegirian Surabaya. Pesarean kuno ini adalah komplek pesarean para bupati Surabaya dan petinggi petinggi di Mojokerto yang dalam satu silsilah keluarga keturunan Ki Ageng Brondong atau ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦭꦤꦁꦣꦔꦶꦫꦤ꧀ Pangeran Lanang Dangiran.
Diriwayatkan bahwa ꦥꦔꦺꦫꦤ꧀ꦭꦤꦁꦣꦔꦶꦫꦤ꧀ Pangeran Lanang Dangiran dan keluarga datang dan bermukim di dukuh Botoputih yang terletak seberang timur sungai Pegirian dan Ampel Denta pada 1595 yang selanjutnya ia dikenal dengan nama Sunan Botoputih. Ia wafat pada 1638 meninggalkan 7 anak yang dua diantaranya adalah
Honggodjoyo dan Honggowongso. Keduanya menurunkan tokoh tokoh bupati Surabaya, Mojokerto dan lainnya.
Di salah satu petak di komplek makam, disanalah terdapat sebuah makam yang tertulis ꦆꦤ꧀ꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀ꦱꦶ inskripsi Aksara Jawa. Inskripsi ini tertulis pada bagian struktur makam di bawah nisan kepala. Aksara Jawa nya terlihat jelas tapi sudah aus sehingga sulit dibaca. Belum diketahui ini makam siapa.
Berbeda dengan makam yang berstruktur marmer di petak makam lainnya. Makam ini adalah makam Adipati Mojokerto yang bernama Raden Panji (RP) Gondokoesoemo. Pada makamnya tergambar sebuah mahkota raja yang menunjukkan tingkat jabatan semasa hidupnya di Mojokerto. Pada makam ini terukir inskripsi dalam Aksara Jawa. Ada satu baris yang ditulis dalam aksara lain yang belum diketahui aksara apakah itu. Sepertinya bentuk dari Aksara lainnya, bukan Jawa.
Dari jelajah kekunoan Surabaya yang diwakili oleh Aksara Jawa dalam rangka ꦲꦫꦶꦗꦣꦶꦏꦺꦴꦠꦯꦸꦫꦨꦪ Hari Jadi Kota Surabaya, dapat diketahui bahwa Aksara Jawa pernah menjadi Aksara tulis di Surabaya. Dari penanggalan yang ada diketahui secara kronologi bahwa yang paling tua ada pada inskripsi Gapura Ampel, Pesarean Agung Sentono Botoputih dan Masjid Kemayoran. (nanang PAR)*