
Rajapatni.com: SURABAYA – Dalam kegiatan Sinau Aksara Jawa di Museum Pendidikan pada Sabtu (25/1/25), para peserta sempat diajak ꧌ꦎꦧ꧀ꦱꦺꦂꦮ꦳ꦱꦶ꧍ observasi empiris melihat artefak manuscript, yang bertuliskan Aksara Jawa. Tujuannya adalah untuk menganal tulisan aksara Jawa Baru (Carakan) yang digunakan dalam penulisan manusript. Di ꧌ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ꦥꦼꦟ꧀ꦝꦶꦝꦶꦏꦤ꧀꧍ museum Pendidikan Surabaya ini, sebagaimana dipasang di ruang pamer, ada manusript berbahan ꧌ꦝꦲꦸꦤ꧀ꦭꦺꦴꦤ꧀ꦠꦂ꧍ daun lontar dan kertas.

Di ruang pamer Aksara memang terdapat ꧌ꦩꦤꦸꦱ꧀ꦏꦿꦶꦥ꧀꧍ manusript bertulis Arab Pegon dan Aksara Jawa Baru atau disebut Carakan Hanacaraka. Kegiatan observasi empiris ini memang ada kaitannya dengan pelajaran ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ Aksara Jawa Baru atau Carakan Hanacaraka yang menjadi materi kegiatan Sinau Aksara Jawa.

Setelah mendapat ꧌ꦏꦼꦠꦼꦫꦔꦤ꧀꧍ keterangan tentang misah aksara aksara, yang digunakan oleh nenek moyang, ada peserta yang nyeletuk bertanya: “Kalau aksara Jawa Kuna itu yang ꧌ꦱꦼꦥꦼꦂꦡꦶ꧍ seperti apa?”.
Pertanyaan ini ꧌ꦱꦼꦝꦼꦂꦲꦤ꧍ sederhana tetapi cukup mendalam. Hal ini mengingat keberadaan entitas tempat ini sebagai sebuah museum, yang khusus mengenalkan aksara sebagai alat komunikasi tulis suatu ꧌ꦥꦼꦫꦝꦧꦤ꧀꧍ peradaban di dalam dunia pendidikan.
Memang ꧌ꦮꦗꦂ꧍ wajar ketika peserta Sinau Aksara Jawa bertanya aksara Jawa Kuna itu seperti apa. Karena di dalam museum ini tidak ada benda yang ꧌ꦩꦼꦩ꧀ꦥꦼꦂꦡꦺꦴꦤ꧀ꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦤ꧀꧍ mempertontonkan aksara Jawa Kuna. Aksara Jawa Kuna atau yang disebut ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦏꦮꦶ꧍ aksara Kawi adalah aksara pendahulu Aksara Jawa Baru atau Carakan Hanacaraka.
Aksara Jawa Kuna dan ꧌ꦯꦹꦫꦧꦪ꧍ Surabaya
Peradaban Surabaya tidak hanya mundur hingga pada batas ꧌ ꦩꦱꦩꦠꦫꦩ꧀꧍ masa Mataram dimana Aksara Jawa Carakan mulai ada, yaitu pada awal ꧌ꦄꦧꦢ꧀꧇꧑꧗꧇꧍ abad 17. Tetapi keberadaan Surabaya sudah ada di masa ꧌ꦏꦼꦫꦴꦗꦴꦤ꧀ꦩꦙꦥꦲꦶꦠ꧀꧍ kerajaan Majapahit. Bahkan penemuan sumur Jobong di kampung Pandean pada tahun 2018 ꧌ꦩꦼꦔꦸꦔ꧀ꦏꦥ꧀ꦏꦤ꧀꧍ mengungkapkan keberadaan komunitas lokal pada tahun 1400-an atau abad 15.
Pada masa itu kiranya aksara Jawa Baru (Carakan) sebagai alat komunikasi tulis belum dikenal. Kala itu, ꧌ꦄꦥꦭꦒꦶ꧍ apalagi kalau bukan aksara Jawa Kuna atau Aksara Kawi.
Sebuah ꧌ꦥꦿꦯꦱ꧀ꦠꦶ꧍ prasasti, yang bernama Prasasti Canggu, yang menyebut nama Surabaya (Syurabhaya), yang dibuat tahun 1358 M atau ꧌ꦄꦧꦢ꧀꧇꧑꧔꧇꧍ abad 14, ternyata menggunakan Aksara Jawa Kuna.
Syurabhaya disebut sebagai naditira pradeca, yakni ꧌ꦱꦼꦧꦸꦮꦃ꧍ sebuah desa di tepian sungai. Syurabhaya adalah desa di tepi sungai yang paling hilir. Prasasti yang berupa lempeng tembaga ini ꧌ꦠꦼꦂꦯꦶꦩ꧀ꦥꦤ꧀꧍ tersimpan di Museum Nasional Indonesia. Jadi kala itu, dengan ditulisnya desa ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Syurabhaya dalam lempeng prasasti, berarti di desa Syurabhaya sudah ada peradaban, ada kehidupan dan ꧌ꦝꦶꦤꦩꦶꦏ꧍ dinamika masyarakat.
Lempeng Prasasti Canggu (1358 M) dan ꧌ꦱꦸꦩꦸꦂꦗꦺꦴꦧꦺꦴꦁ꧍ Sumur Jobong (1430 M) adalah bukti nyata dan otentik adanya kehidupan yang diduga masyarakatnya sudah mengenal ꧌ꦏꦺꦴꦩꦸꦤꦶꦏꦱꦶ꧍ komunikasi lisan yang menggunakan bahasa Jawa Kuna dan komunikasi tulis ꧌ꦩꦼꦔ꧀ꦒꦸꦤꦏꦤ꧀꧍ menggunakan Aksara Jawa Kuna.
꧌ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦮꦧ꧀꧍ Menjawab pertanyaan peserta Sinau Aksara Jawa, maka perlu kiranya ꧌ꦩꦼꦔ꧀ꦲꦝꦶꦂꦑꦤ꧀꧍ menghadirkan aksara Jawa Kuna di museum Pendidikan Surabaya untuk melengkapi koleksi aksara.

꧌ꦕꦫꦚ꧍ Caranya adalah sangat memungkinkan mereplikasi ꧌ꦥꦿꦯꦱ꧀ꦠꦶꦕꦔ꧀ꦒꦸ꧍ Prasasti Canggu yang isinya memang memiliki nilai sejarah tentang ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. Atau ꧌ꦫꦺꦥ꧀ꦭꦶꦏ꧍ replika Prasasti Kamalagyan, yang sudah ada di Museum Surabaya di Siola, bisa digeser ke museum Pendidikan untuk ꧌ꦩꦼꦔꦸꦮꦠ꧀ꦏꦤ꧀꧍ menguatkan eksistensi aksara yang menjadi fokus alat ꧌ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦭꦗꦫꦤ꧀꧍ pembelajaran masa lalu.
Dengan begitu jawaban terhadap seperti apa dan ꧌ꦧꦒꦻꦩꦤ꧍ bagaimana aksara Jawa Kuna, tidak perlu dijawab dengan “silakan datang ke Arca Joko Dolog dimana di sana ꧌ꦠꦼꦂꦞꦥꦠ꧀꧍ terdapat inskripsi aksara Jawa Kuna”. (PAR/nng).