Muncul ToT Aksara Nusantara Baru di Jakarta.

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA – Sebuah acara ToT (Training of Trainers) tentang aksara Nusantara digelar di Jakarta pada Jumat (4/7/25). Acara ini diselenggarakan di Keraton Majapahit Jakarta dan dibuka oleh Prof. Dr. AM Hendropriyono ST., SH., MH, Ketua Keraton Majapahit di Cipayung, Jakarta Timur.

Sebuah pendapa di Keraton Majapahit Jakarta tempat dimana ToT Aksara Nusantara di gelar. Foto: ist

Dalam sambutan pembukaan ToT, Hendropriyono menyayangkan masuknya aksara hangeul Korea, yang kemudian digunakan di bau – bau untuk bahasa cia-cia. Fakta ini seolah olah bangsa ini tidak memiliki alternatif aksara non latin.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Aksara, yang digunakan oleh suku Cia-Cia ini, adalah aksara asing Hangeul dari Korea. Meskipun bahasa asli suku Cia Cia adalah bahasa Cia-Cia, mereka justru mengadopsi Hangeul untuk sistem penulisannya dalam upaya melestarikan bahasa daerah mereka. Ini ironis, padahal ada aksara terdekat. Yaitu Lontara di Bugis, Sulawesi Selatan.

 

ToT Aksara Nusantara Baru (ANB)

Itulah sebabnya muncul gagasan membuat aksara Nusantara Baru (ANB), yang secara anatomy berbeda dari aksara aksara daerah yang sudah ada sejak dahulu kala, Aksara Nusantara Lama (ANL) misalnya aksara Lontara, Jawa, Bali, Sunda, Incung dan Batak.

Tentu tidak mudah mengenal dan mempelajari aksara baru. Terhadap Aksara daerah (ANL) saja, masih didapati banyak kesulitan dalam menemukan dan melestarikan aksara daerah di Indonesia. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk dominasi aksara Latin, kurangnya peminat, dan tantangan dalam digitalisasi.

Lantas Aksara Nusantara Baru (ANB) dari hasil ToT ini akan diajarkan kepada siapa? Dengan aksara daerah (ANL) yang sudah ada saja, belum bisa merata diajarkan di sekolah sekolah.

Ini butuh goodwill daerah dalam upaya pemajuan aksara daerah dan itu tidak mudah. Butuh perjuangan dan kesadaran kolektif apa pentingnya melindungi dan melestarikan aksara daerah.

Disadari belum tentu orang orang daerah sadar akan identitas daerahnya, yang pada akhirnya menjadi identitas bangsanya. Jika tidak sadar akan identitas daerah, maka akan terjadi seperti dengan suku Cia Cia, yang malahan menggunakan aksara asing untuk sistem penulisan sehari hari. Aksara daerah menjadi aksara asing, yang lebih asing daripada aksara asing. Ini terbukti. Tragisnya, aksaranya sendiri seolah bagai momok dan ditolak.

 

Upaya Perlindungan dan Pemajuan Aksara Daerah

Perjuangan memasukkan Aksara Jawa dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, adalah perjuangan demi identitas bangsa. Upaya ini saja menghadapi sikap penolakan dengan alasan tidak sesuai dengan undang undang diatasnya. Dianggap menyalahi aturan.

“Kenapa tidak dilihat dari sudut pandang sikap berani karena kebenaran dalam menjaga, melindungi dan melestarikan identitas bangsa?”, tanya A. Hermas Thony sebagai penggagas Raperda Pemajuan Kebudayaan Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya ini.

Padahal pengusul menyadari betul adanya local wisdom pada aksara yang diusulkan. Ketika orang orang kurang menyadari keberadaan aksara sebagai objek kebudayaan asli, yang belum terwadahi secara hukum, maka dengan praktis mereka menolaknya dengan alasan tidak sesuai dengan undang undang.

Jika aksara itu hilang dari bingkai budaya bangsa, maka siapa yang bertanggung jawab. Contoh tragisnya adalah ketika justru kita malah menggunakan aksara asing, seperti suku asli Indonesia, Cia Cia, yang justru menggunakan aksara asing Hangeul Korea.

 

Aksara Nusantara Baru (ANB) Vs Aksara Nusantara Lama (ANL)

Ketika kemudian muncul aksara tradisional baru, yang disebut Aksara Nusantara seperti yang disosialisasikan melalui agenda ToT di Keraton Majapahit Jakarta, menjadi pengingat akan pentingnya melindungi dan melestarikan aksara daerah yang sudah ada.

Apakah kemudian Aksara Nusantara Baru (ANB) ini akan menenggelamkan aksara daerah (ANL), yang sudah ada sejak ratusan tahun silam?

Mengajarkan aksara daerah (ANL) saja sulitnya bukan main, apalagi mengenalkan Aksara Nusantara Baru (ANB). Bukan tidak mungkin, perlahan tapi pasti, aksara aksara daerah akan mati.

ToT Aksara Nusantara Baru (ANB) ini dihadiri oleh peserta dari Jakarta, DIY, Jatim dan Jateng. Menurut Ginanjar Wijaya, peserta dari Surabaya, bahwa dalam ToT itu tidak diajarkan Aksara Nusantara Lama (ANL)

Huruf Nusantara ( baru) yang tidak sama dengan huruf Nusantara (lama). Foto: par

“Saya juga kaget. Acuannya bukan menggunakan Carakan HANACARAKA”, jelas Ginanjar Wijaya, yang tergabung dalam Komunitas Aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni.

Lantas, bagaimana sikap kita terhadap Aksara daerah (Aksara Nusantara lama)? Tentunya harus ada upaya pemajuan sebagaimana 10 OPK sesuai UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *