Rajapatni.com: SURABAYA – Di bumi Nusantara pada masa Hindia Belanda pernah beredar beberapa pecahan uang kertas dan koin beraksara Jawa. Pada paruh kedua abad XIX, setidaknya beredar beberapa pecahan uang kertas senilai 5, 10 dan 100 Gulden dan terakhir ada Tahun Emisi 1946, beredar uang pecahan senilai 100 Gulden. Pecahan pecahan itu menggunakan Aksara Jawa.
Selain digunakan sebagai upaya untuk menghindari pemalsuan, penggunaan Aksara Jawa ini untuk menunjukkan identitas negara dimana uang itu beredar, yaitu di Hindia Belanda.
Uang uang itu dicetak dan diedarkan oleh De Javasche Bank. Menurut www.bi.go.id bahwa pendirian De Javasche Bank tahun 1828, yang selanjutnya menjadi cikal bakal Bank Indonesia, bisa bertindak sebagai bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Lantas sejak pertengahan abad XIX atau tahun 1850 an, ada bagian yang tampak dihiasi beberapa larik tulisan dalam empat aksara sekaligus empat bahasa. Aksara itu tepatnya berupa aksara Latin untuk menuliskan keterangan berbahasa Belanda, aksara Jawa untuk menuliskan keterangan berbahasa Jawa, aksara Pegon untuk menuliskan keterangan berbahasa Melayu, dan aksara China untuk menuliskan keterangan dalam salah satu bahasa dialek China.
Keterangan dalam berbagai Aksara dan bahasa itu secara umum berisi soal larangan berikut ancaman pidana terhadap praktik pemalsuan uang, pengedaran, maupun penyimpanannya.

Dalam Lintasan Masa Numismatika Nusantara Koleksi Museum Bank Indonesia, yakni katalog yang diterbitkan Museum Bank Indonesia pada 2015 sebagai hasil kurasi dari fotografer senior Oscar Motuloh, penggunaan Aksara Aksara itu sangat membantu untuk mengenali tengara penting dari uang-uang kertas Gulden Hindia Belanda tersebut.
Masih dari kurun waktu di atas, terdapat seri uang kertas Coen – Mercurius, yang menampilkan larangan dan ancaman pidana terhadap pemalsuan. Larangan dan ancaman itu juga ditulis dalam empat aksara serta empat bahasa.

Disebut seri Coen dan Mercurius karena memang menampilkan potret Gubernur Jenderal JP Coen dan gambar sosok Dewa Mercurius.
Keterangan empat aksara dan empat bahasa dalam uang kertas seri Coen – Mercurius diwakili oleh pecahan 100 Gulden keluaran 1913 dan pecahan 5 Gulden keluaran 1920.
Dengan digunakannya Aksara Jawa, pecahan mata uang itu dapat diketahui berasal dari mana, yaitu tanah Nusantara, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Sebenarnya menyertakan Aksara Jawa pada mata uang yang dicetak dan beredar di tanah Nusantara bukanlah hal baru. Uang beraksara Jawa tidak hanya pada pecahan mata uang kertas, tetapi juga ada mata uang koin. Ketika Aksara Jawa itu dipakai untuk menandai mata uang di era kolonial sebagai ciri Nusantara, sekarang bangsa Indonesia seharusnya bangga dengan menyertakan Aksara Nusantara ke dalam mata uang rupiah Republik Indonesia.
Penyertaan Aksara tradisional ini juga dilakukan oleh negara negara yang masih memiliki Aksara tradisionalnya seperti Thailand, Myanmar, Jepang, India, dan China. Mereka bangga dengan Aksaranya.
Apalagi menurut Undang-Undang RI 7/2011 tentang Mata Uang, tepatnya dalam ketentuan umum Bab I, Pasal 1, Ayat 5 yang menyebutkan mengenai ciri ciri rupiah. Aksara Nusantara bisa digunakan kembali sebagai unsur ciri ciri uang Republik Indonesia.
Hal ini juga selaras dengan UU RI 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya Pasal 5 tentang 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan.
Jadi, Indonesia akan semakin berkemajuan terhadap warisan budayanya sendiri dengan mempublikasikan dan menggunakan Aksara Nusantara melalui pecahan uang Republik Indonesia.
Kapan lagi, sebelum Aksara Pegon diambil Dan diakui oleh negara tetangga. Melalui bingkai mata uang Republik Indonesia, kita berbicara kepada dunia. (PAR/nng)