꧌ꦗꦼꦭꦗꦃ꧍ Jelajah Jejak Peradaban Airlangga dan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Rajapatni.com: Surabaya (7/10/24) – Candi Jolotundo di lereng Gunung Penanggungan dan Situs Bhre Kahuripan di Klinterejo, Sooko, Kabupaten Mojokerto menjadi jelajah jejak Peradaban di Tanah Jawa oleh Tim Aksara Jawa, Puri Aksara Rajapatni. Tim terdiri dari Thony, Novita dan Penulis. Mereka melakukan penjelajahan  pada Sabtu malam (5/10/24) hingga Minggu siang (6/10/24).

Pada Sabtu malam itu, di lerengan Penanggungan di desa Seloliman, mereka saling menguatkan diri dan saling dukung dalam upaya pelestarian aksara Jawa. Di sebuah warung, @asocha , mereka berdiskusi mengenai langkah langkah ꧌ ꦱ꧀ꦠꦿꦠꦼꦒꦶꦱ꧀꧍ strategis.

Sambil menikmati panasnya kopi di tengah kegelapan, sunyi dan tenang dengan berselimut kabut dingin, gagasan gagasan dalam diskusi itu berjalan begitu lancar dan cair. Apalagi kalau bukan gagasan tentang pemajuan aksara Jawa, yang selama ini menjadi perhatian dan kepedulian ꧌ꦥꦹꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni.

Di tengah gelapnya malam yang dingin, ketika itu dalam sebuah diskusi, bertambahlah anggota diskusi. Mereka datang tanpa diundang. ꧌ꦩꦸꦭꦻ꧍ Mulai dari dua pejalan dan pendaki cross country gunung asal Surabaya hingga sekelompok pegiat budaya Jawa yang juga asal Surabaya. Diskusi dengan frekuensi yang sama memberikan semangat dalam ꧌ꦎꦥꦪ꧍ upaya pemajuan aksara Jawa bersama.

A. Hermas Thony (kiri) berbagi informasi dalam sebuah diskusi di lereng Penanggungan. Foto: novi

Hermas Thony, penasehat dan pembina Rajapatni berbagi informasi mengenai digitalisasi aksara Jawa melalui perangkat gadget. Digitalisasi dan upaya pemasyarakatan penggunaan Aksara Jawa melalui cara cara digital sangat dibutuhkan untuk mendongkrak algoritma yang pada akhirnya juga bisa memperkuat keberadaan Aksara Jawa di ranah digital secara ꧌ꦒ꧀ꦭꦺꦴꦧꦭ꧀꧍ global. Selain itu,  juga masih diperlukan adanya aksi aksi nyata secara manual dalam pelestarian aksara Jawa maupun budaya Jawa.

Waktu, malam itu, terus berjalan hingga ayam berkokok yang saling bersahutan dari tempat tempat yang berbeda. Suara ayam berkokok meramaikan suasana pagi yang masih ꧌ꦉꦩꦁ꧍ remang. Itu pertanda pagi telah tiba. Tim Rajapatni pun bergegas naik ke Petirtaan peninggalan Raja Airlangga. 

Petirtaan Jolotundo di lereng Gunung Penanggungan. Foto: doc penonaindonesia

Di tengah kegelapan pagi itu, di sekitar petirtaan sudah banyak orang. Petirtaan ini dianggap sebagai petirtaan ꧌ꦠꦼꦂꦡꦸꦮ꧍  tertua di Jawa Timur, berdasarkan pahatan angka tahun yang tertera di salah satu bagian belakang bangunan, yang bertuliskan 889 atau 997 M. (https://nativeindonesia.com/petirtaan-jolotundo-wisata-sejarah-budaya-dan-religi-di-mojokerto/). Sementara itu, pemerhati sejarah Surabaya, arek Surabaya, Tepe Wijoyo, berpendapat bahwa angka tahun yang tertulis pada satu bagian, jika ditransliterasi tertulis 899.

Ketika hari sudah mulai terang, pemandangan candi juga mulai ikut  terlihat terang. Di tempat ini Tim Rajapatni mendapati sebuah batu andesit berbentuk bujur sangkar yang diukir (direlief) dengan Aksara Jawa. Tulisannya berbunyi Candi ꧌ꦗꦭꦠꦸꦟ꧀ꦝ꧍ Jalatunda. 

 

 

Penulisan Aksara Nusantara pada komplek percandian ini sama dengan gagasan yang dikomunikasikan oleh Puri Aksara Rajapatni kepada pihak Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur. Penulisan aksara Nusantara, Kawi dan Jawa, kiranya perlu dibuat untuk mendukung keberadaan komplek komplek ꧌ꦥꦼꦂꦖꦟ꧀ꦝꦶꦪꦤ꧀꧍ percandian.

Dengan sudah adanya sebuah batu bertulis aksara Jawa di Candi Jolotundo ini, sebuah gagasan penulisan aksara Jawa di percandian terlihat nyata. Bagaimana lainnya?

 

Situs Bhre Kahuripan

Kunjungan ke situs Bhre Kahuripan dilakukan pada Minggu pagi (6/10/24) di Klinterejo, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Secara kronologis Bhre Kahuripan di era Majapahit ini datang setelah sama Airlangga dan era Singosari. 

Situs Bhre Kahuripan di Klinterejo, Kabupaten Mojokerto. Foto: doc ist

Secara khusus, kunjungan ke Bhre Kahuripan dengan tokoh Tribhuwana Wijayatunggadewi ini ada kaitannya dengan tokoh Rajapatni atau Gayatri, yang nama besarnya disandang oleh nama komunitas aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni.

Rajapatni adalah istri Raden Wijaya (Raja Pertama Majapahit), yang selanjutnya menurunkan Tribhuwana Wijayatunggadewi. Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa, Rajaputri (Ratu), ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328–1351. 

Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari  Raden Wijaya dan Rajapatni. Tribhuwana memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara (Raja kedua Majapahit). Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309–1328) Tribhuwana diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana bergelar Bhre Kahuripan.

Situs Bhre Kahuripan terletak di Desa Klinterejo, Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto dan dikenal juga dengan nama Situs Yoni klinterejo. Disebut demikian karena dikaitkan dengan keberadaan sebuah yoni yang berada dilokasi ini. Ukuran yoni ini cukup besar dengan panjang 191 cm, lebar 184 cm dan tinggi 121 cm yang salah satu sisinya terdapat cerat yang disangga oleh pahatan ꧌ꦧꦼꦂꦩꦺꦴꦠꦶꦥ꦳꧀ꦤꦒ꧍ bermotif naga. 

Badan yoni dihiasi dengan pahatan yang sangat kaya, seperti pada bagian pelipit, berhias pola ꧌ꦒꦺꦪꦺꦴꦩꦺꦠꦿꦶꦱ꧀꧍  geometris, sulur dan daun-daun lotus. Salah satu sisi yoni terdapat bingkai kecil berisi pahatan angka Jawa kuno 1294Ç (1372 M). Tahun ini cocok dengan tahun wafatnya ibunda Raja Hayam Wuruk, Tribhuwanatunggadewi atau Bhre Kahuripan yang termuat dalam Kitab Pararaton. 

Dalam kitab ini juga disebutkan lokasi pendharmaan dari Tribhuwana Wijayatunggadewi  (Bhre Kahuripan) yaitu di Panggih. Pada masa sekarang ini, daerah dengan nama Panggih merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah barat Desa Klinterejo. Diperkirakan pada masa ꧌ ꦭꦩ꧀ꦥꦻꦴ꧍ lampau lokasi Situs Bhre Kahuripan juga masuk ke dalam wilayah administratif Panggih. (https://id.wikipedia.org/wiki/Situs_Bhre_Kahuripan#)

Selain terdapat Yoni, di tempat ini juga terdapat sandaran arca yang cukup besar. Sayang sekali, arca yang menjadi penggambaran Tribhuwana Wijayatunggadewi sudan dihancurkan. Sangat terlihat sekali penghancurannya. Hanya menyisakan sebuah gambar suluran bunga lotus. Tingginya lebih dari 2 meter. Saat ini sandaran arca Tribhuwana ini bersandar di bagian badan reruntuhan candi yang di atasnya terdapat Yoni. Di sekitar situs Bhre Kahuripan ini terdapat pagar tembok yang panjangnya, untuk sementara, adalah panjang 182 meter dan lebar 120 meter. Temuan tembok berbahan batu bata ini masih dalam upaya ꧌ ꦌꦑ꦳ꦏꦮ꦳ꦱꦶ꧍ ekskavasi. (PAR/nng)  

One thought on “꧌ꦗꦼꦭꦗꦃ꧍ Jelajah Jejak Peradaban Airlangga dan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *