Rajapatni.com: SURABAYA – Aktivitas para pegiat Aksara daerah di berbagai tempat masih bergeliat. Mereka beraktivitas secara mandiri atas dasar kesadaran untuk menjaga dan melestarikan sisa sisa peradaban leluhur, peradaban tinggi hasil karya manusia Indonesia.
Melalui Aksara para leluhur Nusantara ini telah mampu mentransformasikan ilmu. Tanpa Aksara yang tertulis pada media batu, logam, lontas, daluwang dan kertas, Kita tidak Tau kebesaran, kecerdasan Dan Peradaban nenek moyang. Melalui artefak artefak prasasti dan manuskrip misalnya, kita bisa menyibak masa lalu. Masa lalu bisa bercerita. Masa lalu bisa menitipkan pesan untuk masyarakat sekarang dan mendatang.
Karenanya Aksara itu penting untuk diketahui dan dipelajari untuk kepentingan semua di masa sekarang dan mendatang. Oleh sebab itu pula, Aksara sebagai peninggalan leluhur yang faktuil harus jelas sebagai benda atau object yang perlu dimajukan. Keberadaan Aksara di dalam perundang undangan harus jelas. Tidak boleh kabur dan buram agar dapat dibaca dengan jelas dan disikapi dalam implementasinya.
Maklum, ada yang mengatakan bahwa AKSARA tidak ada dalam 10 Object Pemajuan Kebudayaan. Meski begitu, para pegiat Aksara selama ini terus berjuang dengan argumentasinya bahwa AkSARA ada di dalam Object BAHASA.
Apa Iya? Apakah memang begitu? Bahasa hukum harus jelas dan tegas. Tidak boleh Abu Abu dan ambigius agar bisa dijadikan pijakan dalam beraktivitas.
Selama ini para pegiat Aksara memuaskan dirinya sendiri (onani) dengan bangga bahwa Aksara ada di dalam bahasa. Tapi disaat yang bersamaan harus menghadapi fakta bahwa Aksara belum berpayung hukum Undang Undang sebagaimana 10 OPK yang tersebut dalam Pasal 5 UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Coba kamu lihat apakah Aksara ada dalam 10 OPK. Jangan onani kamu!”, kata seseorang.
Tentu malu rasanya mendengar statement itu.Apalagi digunakan kata “onani”.
Tidak salah juga ihak itu mengatakan begitu. Mungkin juga karena itu sehingga, yaitu tidak adanya AKSARA dalam OPK sehingga upaya para pegiat Aksara dalam memajukan Aksara Nusantara seolah terseok seok.
Jangan merasa kecolongan jika di Bumi Nusantara ini ada sebuah Wilayah, yang malah menggunakan Aksara tradisional asing. Warganya tidak menggunakan Aksara lokal yang terdekat dengan Wilayah itu. Aksara asing, yang bernama Hangeul yang menjadi jatidiri negeri ginseng Korea itu, menjadi Aksara resmi sebuah Wilayah di Nusantara. Aksara Hangeul digunakan dikantor Kantor pemerintah, di sekolah Dan di tempat umum.
Bukan tidak mungkin Aksara asing itu bisa menjadi lebih populer di berbagai daerah di Wilayah Nusantara, yang imun Aksara daerahnya lemah. Kita butuh imunisasi Aksara yang kuat agar kebal dari penetrasi Aksara asing.

Imunisasi itu adalah injeksi perundang undangan yang jelas pijakannya. Yakni Aksara terwadahi dan tertulis sebagai Object Pemajuan Kebudayaan. Bukannya sebuah asumsi bahwa Aksara ada di dalam Object Bahasa. Ini tidak jelas dan tidak tegas.
Rasa bangga warga negara terhadap aksaranya sendiri (Nusantara) harus tumbuh. Rasa bangga ini bisa terbangun dari pengakuan formal dari pemerintah dalam produk Undang Undang.
Di beberapa daerah seperti Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta memang sudah memiliki produk hukum tegas melalui Peraturan Gubernur yang mewadahi Aksaranya. Tetapi Induk hukumnya, Undang Undang, belum ada. Kalau setiap daerah sadar untuk menerbitkan peraturan seperti Bali Dan DIY demi perlindungan aksaranya, maka itu sangat bagus.
Tapi seberapa sadar daerah daerah itu membuat peraturan untuk melindungi Aksara daerah. Masih sangat sulit dan butuh waktu panjang. Bisa jadi dalam rentang waktu itu, daerah bisa masuk angin. Kemasukan Aksara asing yang bukan budaya Kita.
Selanjutnya Aksara asing itu bisa merebak dalam tubuh daerah yang akhirnya Aksara asing itu berkembang dan menjadi anatomi tubuh daerah seperti di desa Cia Cia, Kabupaten Bau Bau Sulawesi Tenggara. Kalau sudah seperti itu, siapa bertanggung jawab? (PAR/nng)