Rajapatni.com: SURABAYA – Pada Hari Minggu (12/1/25) saya mendampingi seorang anak Gen Z, yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas dua atau kelas 8. Usianya masih belia, 14 tahun. Namanya Agna Ramadhani. Dipanggil Agna. Agna ingin membuat konten tentang Majapahit. Majapahit terbilang Hotel butik bersejarah yang beralamat di jalan Tunjungan Surabaya. Hotel ini terkenal. Dulu di masa Hindia Belanda namanya Hotel Oranje. Lalu berganti menjadi Hotel Yamato di era pendudukan Jepang. Namanya berganti lagi pada Pasca kemerdekaan. Sempat bernama Hotel Merdeka. Sekarang bernama Hotel Majapahit.
Lalu Agna mengatakan seraya bertanya: “Nama Majapahit ini memakai nama Kerajaan Majapahit, ya pak?”.

Tidak cuma pertanyaan itu. Agna terus bertanya untuk mempertajam pertanyaannya: “Dulu orang orang Majapahit itu bicara menggunakan bahasa apa ya Pak?”.
Saya menjawabnya: “Menggunakan bahasa Belanda”.
Agna pun sedikit bingung dan kaget.
“Oh ya!? Dulu orang orang Majapahit bicaranya sudah menggunakan bahasa Belanda? Lho, orang orang Belanda masuk Nusantara kan pada tahun 1602-an. Sementara Majapahit sudah ada jauh sebelum orang Belanda datang”. tegas Agna.
Saya kaget dan menyadari bahwa yang dimaksud anak SMP ini adalah Kerajaan Majapahit. Bukan Hotel Mojopahit.
Kalau Hotel Majapahit, dulu orang orangnya, seperti karyawan dan tamu hotel, memang berbicara menggunakan Bahasa Belanda. Karena hotel ini ada di era Pemerintahan Hindia Belanda.
“Pak Nanang Tau bahasa Belanda itu bagaimana?”, Tanya Agna.
Saya jawab bahwa saya tau karena kita masih bisa mendengarkan orang bicara menggunakan bahasa Belanda. Misalnya ada tamu tamu Belanda yang datang dan menginap di hotel Majapahit. Mereka bicara menggunakan bahasa Belanda Karena hingga sekarang masih ada penutur bahasa Belanda.

“Lalu, kalau orang orang di masa Kerajaan Majapahit. Mereka bicara menggunakan bahasa apa?”, Tanya Agna mengejar karena rasa ingin tahunya.
Lantas kujawab bahwa orang orang di zaman Kerajaan Majapahit pada rentang waktu Abad 13, 14 hingga 15 menggunakan bahasa Jawa Kuna atau disebut Kawi.
“Taunya dari mana kalau bahasanya bahasa Jawa Kuna?. Apa masih ada orang orang yang bicara bahasa Jawa Kuna?” Tanya Agna terus mengejar.
Lantas kujelaskan untuk mengetahui bahwa bahasanya Jawa Kuna yaitu dari peninggalan prasasti yang menggunakan Aksara Jawa Kuna. Kumpulan prasasti itu ada di Pusat Informasi Majapahit (PIM) Trowulan
Pertanyaan Agna tidak berhenti. Ia terus bertanya. Prasasti kan tidak bersuara? Apa masih banyak orang bisa membaca prasasti yang beraksara Jawa Kuna? Atau apakah ada orang orang yang bisa membaca Aksara Jawa? Kalau prasasti dan aksaranya aus dan rusak bagaimana?
Begitulah kira kira sederetan partanyaan yang menjadi wujud rasa keingintahuan Agna.
Akhirnya memang harus ada upaya upaya Pemajuan Aksara agar masyarakat sekarang seperti Agna, siswi kelas Dua SMP, tidak terputus dari budaya nenek moyang. Jika generasi sekarang atau Gen Z dan gen gen selanjutnya terputus dari budaya leluhur, siapa yang bertanggung jawab?
Memaknai Percakapan
Sejenak setelah percakapan singkat tapi bermakna mendasar dan luar biasa selesai, disadari bahwa Aksara Nusantara perlu memiliki cantolan dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan.
Selama ini object object yang jelas Pemajuannya adalah object object sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 Undang Undang 5/2017 tentang 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK)
Aksara sendiri tidak tersebut secara eksplisit dalam Undang Undang. Bahkan tidak ada DIKSI Aksara dalam 10 OPK. Di sana memang ada Bahasa sebagai salah satu Dari 10 OPK. Tapi Bahasa bukanlah Aksara.
Disebutkan dalam Object Bahasa bahwa Bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia, baik berbentuk lisan, tulisan, maupun isyarat, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Hanya ada frasa “baik berbentuk lisan, tulisan maupun isyarat”. Frasa ini diasumsikan sebagai Aksara. Tapi Aksara sendiri tidak tersebut sebagai 10 OPK.
Meski Aksara adalah sebuah sistem penulisan suatu bahasa dengan menggunakan simbol-simbol seperti misalnya aksara Latin, aksara Arab, aksara Sunda, dan lain-lain. Tapi nyatanya Aksara tidak terakomodasi dalam UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Karenanya butuh ketegasan keberadaan Aksara dalam Undang Undang Pemajuan Kebudayaan. (PAR/nng)